JAKARTA, KOMPAS — Jembatan penyeberangan multiguna Tanah Abang merupakan bagian dari tiga tahap penataan kawasan Tanah Abang. Jembatan ini mulai dirancang saat Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya meminta pembukaan kembali Jalan Jatibaru Raya sekitar Maret 2018. Dari perancangan hingga pembangunannya memakan waktu sekitar delapan bulan.
Direktur Utama PD Pembangunan Sarana Jaya, sebagai pihak yang membangun dan mengelola jembatan penyeberangan multiguna (JPM) atau skybridge Tanah Abang, Yoory C Pinontoan, mengatakan, begitu ada permintaan pembukaan Jalan Jatibaru Raya tersebut, pihaknya langsung memikirkan solusinya dengan merancang JPM. ”Jadi, kami beberapa bulan melakukan perancangan, tidak dadakan langsung dibuat,” katanya di Jakarta, Kamis (15/11/2018).
Pembangunan jembatan senilai sekitar Rp 35 miliar ini dicanangkan salah satunya untuk lokasi relokasi para PKL yang sebelumnya ditempatkan di Jalan Jatibaru Raya. Sejak perencanaan itu, kata Yoory, PT Kereta Api Indonesia sudah langsung dilibatkan.
Rencana pembangunan JPM Tanah Abang mulai disebutkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sekitar Februari 2018. Saat itu, Sandiaga Uno yang masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mengatakan, pembangunan JPM ini merupakan tahap menengah dari penataan kawasan Tanah Abang. Tahap menengah terdiri dari revitalisasi Blok G dan pembangunan JPM.
Penataan jangka pendek sendiri adalah pengalihan arus lalu lintas yang salah satunya penutupan Jalan Jatibaru Raya untuk penempatan pedagang kaki lima (PKL) dan pengaturan kembali moda transportasi umum di kawasan itu. Pada Maret 2018, Obudsman Perwakilan Jakarta Raya menerbitkan rekomendasi mengembalikan fungsi Jalan Jatibaru Raya sebagai jalan umum karena penutupan jalan itu dinilai menyalahi aturan (malaadministrasi).
Adapun penataan jangka panjang terdiri dari pembangunan jaringan infrastruktur baru, termasuk pembangunan gedung hunian, perkantoran, dan pertokoan di sana. Penataan jangka panjang ini bertujuan mengubah kawasan Tanah Abang menjadi kawasan ekonomi seperti yang sudah terwujud di Sudirman Central Business District.
Yoory mengaku heran terhadap pemberitaan media yang menyebutkan adanya masalah antara PT KAI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait pembangunan JPM itu.
Munculnya lima isu yang belum disepakati antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT KAI terkait pembangunan itu diungkapkan Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya yang sudah melakukan diskusi dengan kedua pihak.
Selama perancangan hingga pelaksanaan pembangunan, kata Yoory, PT KAI selalu mendukung pembangunan itu. Tidak pernah ada penolakan untuk rancangan JPM Tanah Abang tersebut. ”Tidak pernah ada masalah, kami selalu baik-baik saja,” ujarnya.
Menurut Yoory, munculnya permintaan penambahan infrastruktur bukan karena kurang matangnya perancangan, melainkan karena kebutuhan tambahan infrastruktur itu baru terlihat saat fisik sudah terbangun. ”Jadi, seperti menambah jaring pengaman yang ke arah rel dan toilet, itu kebutuhan baru terlihat setelah fisik terbangun,” katanya.
Yoory mengatakan, penundaan operasionalisasi JPM yang semula dijadwalkan 30 Oktober 2018 juga bukan karena masalah dengan PT KAI. Hal itu disebabkan secara fisik JPM memang belum selesai total sesuai target waktu karena jalan tidak ditutup selama pembangunan sehingga prosesnya menjadi lebih lambat dari target semula. Saat ini, penyelesaian sudah di atas 95 persen. Pengoperasian tetap ditargetkan pada 23 November 2018.
PD Pembangunan Sarana Jaya akan membangun sarana-sarana tambahan yang diperlukan tersebut. Saat ini, desain dan rancangan sedang dilakukan. Pembangunan akan dilakukan secara bertahap saat JPM dibuka. ”Saya kira tak akan mengganggu operasionalisasi JPM,” katanya.
Jumat (16/11/2018) ini, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya menjadwalkan pembahasan lanjutan soal JPM Tanah Abang dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT KAI. Ketua Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho berharap setidaknya empat dari lima isu tersebut sudah disepakati solusinya.