Keseimbangan atau pemerataan dan keberlanjutan perkotaan ditilik dari akses perekonomian, kondisi lingkungan dan masyarakat menjadi sejumlah hal yang idealnya dihasilkan dari praktik “smart city.” Pada sisi lain, dibutuhkan kebesaran hati dari setiap kepala daerah di wilayah perkotaan untuk menyerahkan sebagian kewenangannya pada sistem yang memungkinkan terjadinya kolaborasi antara para pihak dalam melakukan pembangunan.
Demikian di antara sebagian hal yang mengemuka dalam forum berbagi pengetahuan bertajuk Transformasi Pemerintahan Berbasis Digital dan Kota Cerdas di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, Selasa (13/11/2018) lalu. Sejumlah pakar dan praktisi “smart city” hadir dalam kesempatan tersebut.
Beberapa di antaranya adalah Ketua Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas Prof. Dr. Suhono Harso Supangkat, Director of the APEC Institute of e-Government Waseda University Prof. Toshio Obi, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Airin Rachmi Diany, Dewan Pengawas Apeksi Muhammad Idaham, dan President International Academy of Chief Information Officers Prof. Naoko Iwasaki yang juga tergabung di Institute of e-Government Waseda University.
Suhono, dalam presentasinya memaparkan Garuda Smart City Framework (GSCF) versi 3.0 (Agustus 2018) yang merupakan pengembangan dari model 1.0 (2015), 2.0 (Juni 2017), dan 2.1 (November 2017). Salah satu yang ditekankan Suhono dalam presentasi itu adalah membedakan konsep “smart city” dan “e-government.”
“Smart city,” imbuh Suhono, didefinisikan sebagai keadaan sebuah kota yang bisa mengutilisasiseluruh sumber daya secara efektif dan efisien untuk mengatasi apapun tantangan yang dimiliki kota tersebut. Ini dilakukan lewat penggunaan cara yang inovatif, integratif, dan solusi berkelanjutan dengan menyediakan infrastruktur dan menyediakan layanan perkotaan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Karena itulah, di dalam pemodelannya, terdapat unsur sumber daya (resources) sebagai bagian inti. Lantas dilapisi dengan “smart people,” “smart governance,” dan “smart infrastructure technology & environment,” di bagian pendukung. Hal-hal tersebut, pada gilirannya akan mampu menyajikan layanan berupa “smart economy,” “smart environment,” dan “smart society.”
“(Smart city) bukan hanya (tentang) teknologi, tapi seluruh stakeholder (yang) berkontribusi ke kota,” sebut Suhono.
Idaham, yang juga menjabat sebagai Walikota Binjai, Sumatera Utara menyebutkan, dibutuhkan keikhlasan kepala daerah agar konsep kota pintar dan atau “e-government’ dapat berjalan. Hal ini, imbuh Idaham, misalnya terjadi untuk proses penerbitan sejumlah izin, yang serta merta akan relatif mengurangi kewenangan kepala daerah manakala sistem pintar dijalankan dengan ideal.
“(Sekedar) Komitmen saja tidak akan mau (berjalan) kalau (pemimpin daerah) tidak ikhlas,” sebut Idaham.
Ia lantas merujuk pada keberhasilan Kota Binjai dalam mengadopsi konsep “smart city” dan “e government,” sekalipun dengan anggaran yang relatif sedikit. Hal itu disiasati lewat kolaborasi dengan sejumlah pihak, termasuk dengan pihak kampus setempat yang menyediakan sumberdaya manusia untuk mendesain dan mengelola sistem.
Sementara Airin, yang juga adalah Walikota Tangerang Selatan, Banten, menyebutkan bahwa salah satu tantangan dalam implementasi konsep “smart city" adalah meningkatkan tingkat kesadaran sebagian masyarakat dan aparatur sipil negara (ASN). Misalnya saja keberadaan aplikasi Siaran Tangerang Selatan (Tangsel) yang merupakan platform pelaporan resmi Pemkot Tangsel terkait berbagai kejadian dalam lingkup pelayanan publik pemerintah.
“Masih banyak (masyarakat) yang belum menggunakan dan memanfaatkan aplikasi tersebut. (Selain itu) Masih ada juga ASN yang tidak secara responsif untuk menyelesaikan (laporan atau pengaduan) melalui aplikasi tersebut,” sebut Airin.
Ia menambahkan, terkait dengan hal itu, maka kolaborasi sebagai kata kunci dalam mewujudkan konsep “smart city” tetap harus diupayakan. Ini sekalipun tantangan besar untuk mengubah paradigma, termasuk dari sebagian kalangan ASN, dalam mewujudkan kolaborasi ideal antara seluruh pemangku kepentingan cenderung masih menghadang.
“Kolaborasi, nggak boleh nyerah. Terus aja (dilakukan untuk mewujudkan kolaborasi),” sebut Airin.
Adapun Naoko, dalam kesempatan tersebut memaparkan pentingnya kehadiran Chief Information Officers (CIO) dalam pemerintahan. Naoko, di antaranya menyebutkan sejumlah hal yang penting untuk dipertimbangkan terkait urgensi peningkatan kapasitas CIO berdasarkan survei ranking e-government (Waseda-IAC International e-Government Rankings) selama 14 tahun terakhir.
Sebagian di antaranya adalah konvergensi open data, big data, dan media sosial. Kemunculan teknologi baru seperti “cloud computing,” ‘internet of things,” dan “artificial intelligence.” Selain itu, tentu saja keberadaan “smart cities,” dan “e-government,” di sejumlah pemerintah lokal.