Inggris dan Uni Eropa dapat mencapai kesepakatan final Brexit, yang mungkin ditandatangani pada 25 November. Namun, PM Theresa May harus berjuang memperoleh dukungan parlemen.
BRUSSELS, KAMIS Inggris dan Uni Eropa mencapai kesepakatan akhir terkait Brexit. Direncanakan, para pemimpin UE bertemu pada 25 November untuk menandatangani kesepakatan itu. Meskipun tahap final bisa dilewati, Perdana Menteri Inggris Theresa May harus menghadapi ”jalan terjal” di depan.
Pada Kamis (15/11/2018), May menjabarkan kesepakatan tersebut di parlemen yang selama ini bersikap menentang dan skeptis terhadap negosiasi Brexit yang dilakukan pemerintah. Finalisasi kesepakatan Brexit selama ini berlangsung tertutup, khususnya dalam pembahasan isu perbatasan Irlandia Utara dan masa depan perdagangan Inggris -UE.
Kemarin, Menteri Brexit Dominic Raab serta Menteri Pekerjaan dan Pensiun Esther McVey mengundurkan diri. Mereka mengatakan tidak dapat mendukung kesepakatan akhir Brexit. Pengunduran diri juga dilakukan oleh Menteri Muda Irlandia Utara Shailesh Vara dan Menteri Muda Brexit Suella Braverman.
Dalam pernyataannya, Vara menyebutkan, kesepakatan Inggris-UE tidak membuat Inggris menjadi negara berdaulat. ”Kesepakatan ini tidak membuat Inggris menjadi negara merdeka yang meninggalkan belenggu Uni Eropa,” ujarnya.
Pemberontakan
Kubu Konservatif terbelah antara yang pro hard Brexit dan mereka yang menginginkan Inggris tetap dalam UE. Banyak politisi dari kedua kubu yang menentang kesepakatan May. Situasi ini membuka peluang bahwa meskipun kesepakatan telah tercapai, besar kemungkinan ditolak oleh parlemen.
Kubu Konservatif pro Brexit menganggap negosiasi yang dilakukan May telah mengkhianati visi Brexit. Anggota parlemen senior Peter Bone mengingatkan May bahwa dia berisiko kehilangan dukungan dari ”banyak anggota parlemen Konservatif dan jutaan pemilih”.
Adapun Jacob Rees-Mogg, pemimpin anti-parlemen Eropa, mendesak rekan-rekannya untuk memveto proposal May. Demikian juga dengan mantan Ketua Partai Independen (UKIP) Nigel Farage yang menyatakan hasil negosiasi May dengan UE merupakan ”kesepakatan terburuk dalam sejarah”.
Sebaliknya, May bersikeras bahwa kesepakatan yang telah dicapainya akan mengembalikan kendali Inggris dalam masalah keuangan, undang-undang, dan perbatasan, serta mengakhiri pergerakan bebas, melindungi lapangan pekerjaan, keamanan, dan persatuan Inggris.
Menurut May, jika parlemen menolak hasil kesepakatan, Inggris akan keluar dari UE tanpa kesepakatan. Menurut para ahli, hal tersebut berpotensi menimbulkan gangguan ekonomi serta hukum.
May juga mengangkat kemungkinan ”tak ada Brexit sama sekali”. Hal ini disambut antusias oleh kelompok yang menginginkan supaya diadakan referendum kedua.
Eropa sepakat
Presiden Dewan Eropa Donald Tusk setelah bertemu dengan juru runding UE, Michel Barnier, mengatakan, jika tidak ada hal-hal yang luar biasa, Dewan Eropa akan bertemu untuk memformalkan kesepakatan Brexit. Para pemimpin UE kemudian akan bertemu pada 25 November untuk mengesahkan kesepakatan perceraian.
Tusk memuji kerja keras Barnier dan timnya yang telah memastikan bahwa dampak buruk dari Brexit diminimalisasi dan dapat mengamankan kepentingan UE. Barnier menegaskan bahwa kesepakatan tersebut ”adil dan seimbang”. ”Meskipun sangat menyedihkan, saya akan berbuat maksimal untuk membuat perceraian ini tidak menyakitkan bagi Anda dan kami,” kata Tusk.
Mengenai isu perbatasan Irlandia Utara, kemungkinan Inggris tetap berada dalam sistem bea cukai UE sampai kesepakatan dagang tercapai yang berupa sistem yang menghindari penjagaan di perbatasan.