JAKARTA, KOMPAS – Keseriusan pemerintah dan pemangku kepentingan dalam mengendalikan impor diperlukan untuk menekan defisit neraca perdagangan. Sebab, defisit semakin lebar dan akan berpengaruh terhadap defisit transaksi berjalan.
Pemerintah juga perlu mendorong ekspor nonmigas. Selama Januari-Oktober 2018, ekspor nonmigas terus turun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Oktober 2018 defisit 5,51 miliar dollar AS. Padahal, pada kurun yang sama tahun lalu, neraca perdagangan surplus 11,8 miliar dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, defisit terjadi karena impor migas dan nonmigas tumbuh pesat. Pada Oktober 2018, impor migas tumbuh 26,97 persen dibandingkan September 2018, sementara impor nonmigas 19,42 persen.
Kenaikan impor migas terjadi karena harga minyak mentah dunia pada periode September-Oktober 2018 naik. Sementara kenaikan impor nonmigas terjadi karena permintaan domestik cukup tinggi, baik barang konsumsi, bahan baku/penolong, maupun barang modal. "Lonjakan impor itu tidak diimbangi dengan kinerja ekspor nonmigas sehingga neraca perdagangan nonmigas pada Oktober 2018 defisit 393,2 juta dollar AS," ujarnya.
Menurut Suhariyanto, ekspor komoditas unggulan Indonesia, seperti lemak dan minyak hewan/minyak, termasuk minyak kelapa sawit mentah, turun. Pada Januari-Oktober 2018, ekspor komoditas itu turun 9,94 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. "Ekspor turun itu karena permintaan lemah dan ada hambatan perdagangan dari sejumlah negara," ujarnya.
Impor bahan baku/penolong juga cukup tinggi. Beberapa di antaranya adalah gula mentah yang pada Januari-Oktober 2018 tercatat 3,9 juta ton senilai 1,44 miliar dollar AS dan gula pasir 75.723 ton senilai 31, 4 juta dollar AS. Adapun impor ampas dan sisa industri makanan naik 16,97 persen jadi 2,59 miliar dollar AS.
Suhariyanto menilai lonjakan impor itu justru akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan IV-2018 nanti, impor akan mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga, investasi, dan perdagangan. Kendati begitu, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengendalian dan subtitusi impor tetap perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita mengemukakan, penurunan ekspor CPO dan produk turunan bukan hanya karena penurunan permintaan dari beberapa negara, tetapi juga pengaruh penurunan harga. Selain itu kenaikan harga bahan baku dan juga barang modal untuk kebutuhan industri meningkat tajam, sehingga berpengaruh terhadap kenaikan nilai impor nonmigas.
Memang pertumbuhan ekspor nonmigas pada Januari-Oktober 2018 sebesar 8,73 persen. Pemerintah akan berupaya meningkatkannya hingga akhir tahun agar dapat mencapai target sebesar 11 persen.
“Kami akan mendorong terus ekspor CPO dan produk turunan, serta batubara. Selain itu ada produk-produk manufaktur bernilai tambah yagn akan terus ditingkatkan ekspornya, seperti tekstil dan produk tekstil, furnitur, dan otomotif,” ujarnya.
Enggartiasto menambahkan, pemerintah juga baru saja menerbitkan peraturan presiden untuk mengimpelementasikan amandemen protokol untuk ASEAN. Sejak 2015, hanya regulasi-regulasi Indonesia yang belum diratifikasi, sehingga Indonesia belum maksimal dalam memanfaatkan kesepakatan-kesepakan di tingkat ASEAN itu.