JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta pengganti tiga bulan kurungan kepada korban pelecehan seksual, Baiq Nuril Maknun, dinilai melanggar keadilan. Dalam petikan putusannya, Mahkamah Agung membuat Baiq Nuril Maknun sebagai ”penjahat jenis baru”.
”Majelis Hakim Agung tidak memahami duduk perkara secara utuh. Padahal, sudah jelas bahwa Baiq Nuril Maknun atau Nuril tidak melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 27 Ayat 1 tentang Kesusilaan,” kata penasihat hukum Nuril, Aziz Fauzi, di Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Paparan ini disampaikan dalam diskusi Jaringan Masyarakat Sipil. Diskusi ini bertemakan ”Jangan Penjarakan Korban Kekerasan Seksual: Menanggapi Putusan Kasasi Baiq Nuril Maknun”.
Kasus Nuril bermula sejak 2014. Saat itu, sebagai tenaga honorer di salah satu sekolah menengah atas di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Nuril mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah berinisial M.
Nuril kerap kali ditelepon oleh M yang ujung pembicaraannya melanggar kesusilaan. Hingga akhirnya Nuril merekam pembicaraan tersebut untuk dijadikan bahan pembelaan diri.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai, tidak ada aturan hukum yang melarang orang melakukan perekaman percakapan. Dalam hal ini, apa yang dilakukan Nuril semata-mata merupakan tindakan membela diri.
”Ini adalah tindakan membela diri, minimal Nuril bisa sampaikan kepada suaminya, ’ini bukan saya lho yang mengambil inisiatif’. Selain itu, kalau Nuril menyampaikan kepada orang lain, itu adalah tindakan peringatan agar berhati-hati kepada M,” kata Anggara.
Aziz menyampaikan, pada 2017, pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram telah membuktikan, transmisi informasi elektronik berupa rekaman telepon dilakukan oleh rekan kerja Nuril. Sebab, yang dilakukan Nuril adalah memberikan rekaman beserta gawainya secara konvensional.
”Hingga saat ini kami belum menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung (MA). Kami hanya menerima Petikan Putusan Kasasi Nomor 574K/Pid.Sus/2018. Anehnya, jaksa akan segera melaksanakan eksekusi putusan MA,” kata Aziz.
Anggara menyampaikan, saat ini ada dua langkah yang dapat ditempuh untuk membebaskan Nuril. Secara hukum, melalui peninjauan kembali. Sementara secara nonhukum dapat melalui amnesti.
”Dalam kondisi ini, Nuril tidak perlu aktif untuk mendapatkan amnesti sebab amnesti diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Memang, DPR RI dapat memberi pertimbangan, tetapi tetap Presiden yang memutuskan,” kata Anggara.
Anggara menegaskan, hukum seharusnya bisa melindungi korban kejahatan seksual, bukan membuatnya menjadi penjahat jenis baru. Maka, Presiden seharusnya segera memberikan amnesti.
Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Azriana R Manalu menyampaikan, pada 2017, sebesar 76 persen kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas adalah kekerasan seksual. Kekerasan terdiri dari 911 kasus pencabulan, 704 kasus pelecehan seksual, dan 699 kasus pemerkosaan.
”Tingginya angka pelecehan seksual belum diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai bagi korban. Tidak dikenalnya tindakan pelecehan seksual oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali jika memenuhi unsur pencabulan, telah menyebabkan banyak korban pelecehan seksual bungkam,” papar Azriana.
Lebih lanjut, Azriana menyatakan, jika kasus diungkapkan, itu hanya kepada orang-orang terdekat saja. Ungkapan kepada orang-orang terdekat ini kerap digunakan oleh pelaku untuk melaporkan korban ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik yang melanggar UU ITE.
”Hal ini merupakan upaya ’memindahkan’ pertanggungjawaban hukum pelaku pelecehan seksual kepada korban dari tindakan pelecehan seksual itu sendiri. Pola ini terus berulang sehingga impunitas terhadap pelaku pelecehan seksual berjalan bersamaan dengan dikriminalkan,” kata Azriana.
Koordinator Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin menyampaikan, Petikan Putusan Kasasi Nomor 574K/Pid.Sus/2018 semakin meyakinkan, memang ada persoalan mendasar dalam UU ITE. Jika tidak segera direvisi atau dihapus, ketentuan dalam UU ITE akan memakan lebih banyak korban, khususnya perempuan, anak-anak, dan orang miskin.
’Sering kali korban terpaksa lebih memilih diam daripada mengungkapkan pengalamannya. Hal tersebut dipilih karena keberadaan UU ITE bukan untuk melindungi korban, tetapi menyasar korban,” kata Ade. (SHARON PATRICIA)