Kasus-kasus etika mulai bermunculan di kalangan perusahaan teknologi digital, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Euforia kemunculan usaha rintisan dengan segala kisah manisnya kini harus berhadapan dengan masalah internal, salah satunya adalah soal etika, yang pada ujungnya adalah kemampuan mereka membangun kultur organisasi. Pimpinan puncak perusahaan yang memahami masalah ini bakal mampu menyelamatkan usaha, namun bila tidak, capaian selama ini bakal runtuh.
Kita masih ingat kasus Uber beberapa waktu lalu, dari isu pelecehan seksual hingga karyawan yang mengintip data-data pelanggan. Tak lama kemudian Facebook dengan kasus Cambridge Analytica dan terakhir pekan lalu Google juga terkena kasus pelecehan seksual oleh salah satu eksekutif yang menyebabkan puluhan ribu karyawannya turun ke jalan. Di dalam negeri, Tokopedia harus memecat puluhan karyawannya karena diketahui melakukan tindakan tak terpuji.
Keberhasilan mereka membangun bisnis hingga ke predikat unicorn dan juga sukses lainnya sepertinya harus diikuti dengan langkah membangun kultur organisasi. Secara umum, kultur organisasi adalah sejumlah nilai dan perilaku yang berkontribusi dalam membentuk keunikan dan kondisi lingkungan psikologis sebuah organisasi.
Kultur organisasi akan tampak dalam hal perusahaan menjalankan bisnisnya, memperlakukan karyawan, melayani konsumen, aliran informasi karyawan dengan atasan, dan komitmen karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan.
Di dalam perusahaan teknologi digital, persoalan kultur organisasi, termasuk soal etika, menjadi urusan paling tinggi setelah soal teknologi dan layanan. Mereka yang berhasil membangun kultur organisasi dengan baik akan menumbuhkan kepercayaan ke pengguna atau konsumen.
Sebagai contoh, kita bisa membayangkan data-data kita berada di dalam genggaman mereka. Kita akan percaya data-data itu aman ketika berada di perusahaan yang bisa dipercaya menjaga dan menggunakannya secara etis. Sebaliknya, kita akan mencabut kepercayaan itu ketika mereka terindikasi berperilaku memanfaatkan data-data kita atau perilaku lain yang menyebabkan kepercayaan kita runtuh.
Oleh karena itu, kini saatnya mereka perlu membangun kultur organisasi secara disiplin. Tidak mengherankan belakangan banyak tulisan-tulisan mengenai kultur organisasi di kalangan usaha rintisan. Kebutuhan ini mendesak karena secara historis, awalnya mereka bergulat dengan urusan membangun perusahaan dari menguji ide, membuat purwarupa model bisnis, mencari investor, dan mulai menjalankannya. Ketika mereka mulai membentuk tim dalam ukuran yang lebih besar, maka mereka mulai harus membangun tim yang kuat dan kultur organisasi yang kuat.
Di perusahaan teknologi digital, persoalan kultur organisasi, termasuk soal etika, menjadi urusan paling tinggi setelah soal teknologi dan layanan.
Beberapa usaha rintisan memang terkesan sambil lalu mengurus kultur organisasi. Tidak mengherankan mereka menerjemahkan kultur organisasi dari yang selama ini dialami seperti kultur organisasi bergantung pada perilaku pendiri, cara mereka memperlakukan karyawan, hasil kombinasi dari karakter pendiri dan tim yang direkrut, dan sesuatu yang berbeda dengan usaha rintisan lain sehingga mereka terdorong untuk bekerja.
Para pendiri usaha rintisan menyadari masalah ini karena selama ini mereka sibuk dengan urusan membangun sesuatu yang belum pernah ada dan mereka adalah merek baru. Salah satu analis mengusulkan, ketika usaha rintisan membesar, sebaiknya mereka segera mencari ahli di bidang pengelolaan sumber daya manusia. Ciri ini tampak di usaha rintisan yang kini sukses. Mereka sejak awal menempatkan ahli sumber daya manusia untuk membangun kultur organisasi yang kuat dan mencari talenta yang sesuai dengan tujuan organisasi.
Keputusan itu akan mempengaruhi fase-fase dalam membangun perusahaan selanjutnya. Perusahaan yang membangun kultur organisasi lebih cepat, dengan menempatkan mereka yang paham pengelolaan sumber daya manusia, menurut para peneliti ternyata lebih cepat mencapai tahapan menjadi perusahaan terbuka dan menjual saham di bursa. Mereka ini yang disebut organisasi dengan kultur bintang. Meski demikian, mereka menghadapi masalah pengelolaan sumber daya manusia, salah satunya mereka harus menyeleksi karyawan yang layak dan tidak layak berada di dalam organisasi itu.
Ketika muncul masalah terkait dengan kultur organisasi dan secara spesifik berurusan dengan etika, maka CEO harus tampil di depan. Ia harus menjelaskan masalah yang terjadi dan penanganannya. Masalah seperti ini menyangkut kredibilitas usaha rintisan yang akan menentukan hidup atau mati bisnis mereka sehingga CEO harus tampil karena menyangkut kepercayaan publik terhadap usaha mereka. Para CEO di dalam negeri dan luar negeri telah melakukan hal ini. Perbaikan organisasi juga dilakukan. Beberapa organisasi membangun Chief Diversity Officer untuk menangani persoalan terkait dengan perbedaan latar belakang karyawan.