JAKARTA, KOMPAS – Indonesia harus mempercepat upaya transisi penggunaan energi konvensional ke energi terbarukan. Tanpa adanya upaya ini, target penurunan emisi karbon seperti yang disepakati dalam Kesepakatan Paris sulit tercapai.
Melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris dengan menargetkan kontribusi penurunan emisi sebesar 29 persen pada Dokumen Niatan Kontribusi Nasional (NDC). Dari jumlah tersebut, sektor energi adalah target terbesar kedua dalam upaya penurunan emisi karbon setelah sektor kehutanan.
“Melihat tidak adanya konsistensi pemerintah dengan target yang dibuat, Indonesia sulit untuk mencapai target penurunan emisi tersebut. Kuncinya sebenarnya ada di pemerintah. Pastikan ada kebijakan yang inovatif, kemudian konsisten dengan tujuan dan target yang ditentukan,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di sela-sela peluncuran Forum Energi Bersih Indonesia (ICEF) di Jakarta, Kamis (15/11/2018).
ICEF merupakan wadah dialog yang diinisiasi oleh IESR untuk bertukar gagasan dan pemikiran inovatif untuk mendorong transformasi menuju sistem energi rendah karbon. Dari dialog yang dilakukan akan menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan agar target Kebijakan Energi Nasional bisa tercapai.
Membangun sistem
Menurut Fabby, pemerintah harus memiliki mandat serta membangun sistem yang jelas terkait rencana aksi penurunan emisi karbon melalui penggunaan energi bersih. Sumber daya yang dialokasikan pun harus dipastikan mencukupi. Kebijakan terkait mekanisme pencapaian, insentif, serta rencana aksi perlu diarahkan untuk energi terbarukan. “Indonesia ini kurang di kebijakannya,” ucapnya.
Berkaca pada negara lain, seperti Jerman, Cina, dan India yang saat ini dikenal sebagai negara yang terdepan dalam pemanfaatan energi terbarukan, Indonesia perlu menyusun kerangka regulasi yang pro pada energi terbarukan. Ketiga negara tersebut menyusun regulasi yang berfokus pada transformasi sistem energi ke energi bersih, transformasi pasar dan industri kelistrikan, transformasi instrumen pendukung untuk pendanaan dan penetapan target, serta perencanaan jangka panjang.
Pada akhir 2017, Jerman tercatat memiliki kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 110 gigawatt. Sementara Cina sebesar 650 gigawatt dan India memiliki 120 gigawatt kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan.
“Penerapan kebijakan dan strategi di negara itu spesifik sesuai konteks masing-masing. Namun, faktor keberhasilannya juga seragam, seperti kepemimpinan yang berkomitmen kuat, kebijakan yang saling mendukung, pembentukan instrumen pendanaan untuk insentif energi terbarukan, serta fokus pada riset dan pengembangan energi,” ujar Fabby.
Ketua Penasihat ICEF Kuntoro Mangkusubroto menambahkan, perubahan yang cepat terjadi di sektor energi. Perubahan ini dalam bentuk dekarbonisasi, digitalisasi, desentralisasi pembangkit listrik, serta demokratisasi penyediaan listrik. Untuk itu, penyediaan listrik yang masih bertumpu pada bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas alam meningkatkan risiko finasial yang berdampak pada sektor sosial dan lingkungan.
“Agar Indonesia bisa melakukan transformasi energi menuju energi bersih perlu kajian serta persiapan yang mendalam. Selain itu, hal yang lebih utama adalah komitmen politik dari berbagai pemangku kepentingan,” kata Kuntoro.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 9 menyebutkan, pada tahun 2025 peran energi baru dan energi terbarukan paling sedikit 23 persen dan pada 2050 ditargetkan mencapai 31 persen.
Disparitas listrik
Namun, dalam kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyebutkan, target tersebut dinilai sulit tercapai. Penyebabnya, disparitas listrik masih terjadi di Indonesia, pendanaan yang belum mencukupi, serta masalah sosial yang berbeda di setiap daerah. “Paling tidak bisa tercapai sekitar 20 persen,” ujarnya.
Sementara, Duta Besar Denmark untuk Indonesia Rasmus Abildgaard Kristensen menyebutkan, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam mewujudkan penerapan energi terbarukan. Potensi itu mulai dari pemanfaatan sumber surya, air, angin, hingga panas bumi.
“Semua bisa diwujudkan asal arah kebijakan energi dan kelistrikan mengarah ke sana. Tetapi sepertinya itu belum terlihat jelas di Indonesia,” katanya.