Kegaduhan politik terjadi karena praktik demokrasi di Indonesia saat ini sebatas pada hitungan di pemilu atau pilkada. Padahal, demokrasi mestinya bisa mendiseminasikan nilai-nilai kemanusiaan.
JAKARTA, KOMPAS - Demokrasi yang dijalankan di Indonesia tercerabut dari akar dan nilai yang tecermin dalam sila-sila Pancasila sehingga hanya diterjemahkan secara terbatas pada hitung-hitungan elektoral desain pemilu dan pilkada. Padahal, demokrasi sejatinya lekat dengan membangun nilai dan budaya kewargaan yang bisa mewujudkan kesetaraan, menumbuhkan perasaan percaya diri sebagai warga negara.
Nilai-nilai filosofis dan suasana kebatinan pendiri bangsa saat mengonseptualisasi negara bangsa Indonesia sangat sarat dengan idealisme, patriotisme, serta cinta tanah air. Namun, transfer nilai itu mengalami keterputusan, tidak diteruskan tokoh partai politik saat ini. Alhasil, muncul kegaduhan politik, perebutan kekuasaan dan sumber daya.
”Bagusnya diundang semua pimpinan parpol, berembuk bersama. Negara ini mau dibawa ke mana?” kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, dalam Diskusi Publik Mufakat Budaya Indonesia bertajuk ”Bagaimana Negara Ideal Itu? Memufakatkan Sistem Kenegaraan Indonesia” di Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Diskusi juga menghadirkan tiga pembicara lain, yakni budayawan Radhar Panca Dahana, pengamat politik Fachry Ali, dan politikus senior Siswono Yudo Husodo. Diskusi kali ini bagian dari rangkaian diskusi publik Mufakat Budaya Indonesia yang sebelumnya sudah membahas tentang kebudayaan, konstitusi, ideologi, dan bangsa Indonesia. Rangkaian diskusi itu merupakan pengantar menuju Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III yang akan digelar di Bogor, Jawa Barat, 22-25 November 2018.
Nilai budaya
Siti Zuhro mengingatkan, demokrasi bisa dipacu oleh nilai budaya yang banyak kompatibel dengan nilai universal demokrasi. Dia mencontohkan, pada saat nilai cinta tanah air dan rasa memiliki bisa ditanamkan melalui pendidikan kewargaan, pembelian suara dalam proses elektoral tak akan berlaku karena warga punya rasa percaya diri. Jika nilai yang menjadi suprastruktur demokrasi itu absen, aktor dan elite seharusnya bisa hadir menjadi pendorong demokrasi. Sayang, di Indonesia, aktor dan elite justru menjadi penghambat yang akhirnya melemahkan demokrasi.
Relatif senada dengan Zuhro, Siswono menekankan bahwa menyoroti sistem merupakan satu soal, tetapi pelaksanaan sistem justru lebih menentukan hasil akhirnya. Dia meyakini, sistem sangat ditentukan oleh aktor yang mengelolanya. Oleh karena itu, dia menilai menjadi sangat penting parpol kembali mengingat peran utama mereka yang mulia untuk mencarikan rakyat calon terbaik untuk bisa menduduki jabatan publik, baik di daerah maupun di pusat.
”Kalau semua parpol memilih orang-orang terbaik, dan rakyat memilih yang terbaik di antara yang baik, jabatan publik akan diduduki yang terbaik di antara yang baik,” kata Siswono.
Hanya saja, kondisi ideal itu belum terjadi. Fachry Ali menjelaskan fenomena ini dengan menggali dari sejarah bangsa Indonesia. Menurut dia, pada masa Orde Baru, aktor politik dikontrol kuat oleh negara. Begitu pula dengan distribusi sumber daya. Saat orang-orang kaya mulai bermunculan, Orde Baru runtuh. Orang-orang kaya itu tidak mampu lagi dikontrol oleh negara yang menjadi lemah. Dalam konteks itu, kemudian terjadi migrasi modal dalam dunia politik. Orang-orang kaya membangun partai politik. Hal ini akhirnya membuat negara harus terus berkompromi dengan kekuatan di luar negara.
Sementara itu, Radhar menekankan, demokrasi seharusnya bisa mendiseminasikan nilai-nilai yang meluhurkan kemanusiaan. Namun, dalam konteks Indonesia, hal itu sejauh ini tidak berhasil. Demokrasi justru menjadi senjata ampuh mengubur tradisi dan warisan leluhur yang seharusnya bisa menjadi kekuatan bangsa.