JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah perlu mengevaluasi kembali sejumlah kebijakan impor, terutama penentuan alokasi impor bahan baku pangan dan pengalihan pengawasan dari kepabeanan ke luar kepabeanan. Alokasi impor bahan baku pangan dinilai terlalu berlebihan, karena beberapa dianataranya bisa dengan mengoptimalkan sumber daya alam dalam negeri.
Adapun pengalihan pengawasan berpotensi meningkatkan impor baik secara legal maupun ilegal. Pengalihan pengawasan dari kepabeanan ke luar kepabeanan juga sangat terbatas dilakukan, mengingat keterbatasan jumlah pengawas dan luasnya daerah pengawasan.
“Evaluasi kembali kebijakan-kebijakan tersebut. Pengawasan impor juga perlu diperketat, terutama untuk izin impor komoditas yang memiliki substitusi di dalam negeri,” kata Ekonom Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Kompas, Jumat (16/11/2018).
Menurut Bhima, kuncinya adalah kembali ke peningkatan substitusi impor yang diproduksi dalam negeri. Permasalahan klasik seperti garam dan gula yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan industri, bukan dengan cara memperlebar impor secara konsisten, tetapi pemerintah harus mendorong peningkatan kualitas produksi garam dan gula lokal.
Besarnya impor komoditas bahan baku industri justru menjadi disinsentif bagi produsen lokal dalam meningkatkan kapasitas produksinya. “Pemerintah perlu mendorong produsen substitusi impor melalui insentif yang tepat sasaran, bantuan kredit lunak, fasilitas teknologi untuk peningkatan kualitas produk, dan akses pasar,” ujarnya.
Terkait pengawasan impor, Bhima berharap pemerintah mengembalikan pengawasan di kepabeanan. Dengan kondisi sekarang, prosedur untuk impor komoditas 10 teratas termasuk mesin, dan besi-baja harus diperketat.
Kalau terlalu mudah dengan hanya cukup ada dokumen deklarasi mandiri, potensi defisit transaksi berjalan Indonesia bisa semakin melebar. Pengetatan pengawasan di kepabeanan itu sah untuk dilakukan sebuah negara, karena bagian dari kebijakan nontarif.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat, China memiliki 2.194 jenis kebijakan nontarif untuk melindungi produsen domestik. Meskipun China aktif dibeberapa perjanjian tarif preferential, tetapi sebagian besar hanya mengurangi bea masuk atau tarif, sedangkan kebijakan nontarifnya masih banyak.
“Indonesia hanya memiliki 272 jenis kebijakan nontarif. Hal itu jangan direlaksasi lagi agar impor tidak semakin melonjak,” kata dia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Oktober 2018 defisit 5,51 miliar dollar AS. Padahal, pada kurun yang sama tahun lalu, neraca perdagangan surplus 11,8 miliar dollar AS.
Defisit terjadi karena impor migas dan nonmigas melonjak terlalu tinggi, sedangkan kinerja ekspor turun. Pada Januari-Oktober 2018, ekspor tumbuh 8,84 persen dan impor 23,37 persen dibandingkan periode sama 2017.
Sementara, data Kementerian Perdagangan menunjukkan impor bahan baku pangan yang disetujui pemerintah pada tahun ini masih sangat besar. Alokasi impor gula mentah sebanyak 1,022 juta ton dengan realisasi 877.260 ton (87,78 persen) dan impor garam industri sebanyak 3,1 juta ton dan terealisasi 2,17 juta ton. Adapun alokasi impor daging segar 624.711 juta ton (realisasinya 499.638 ton) dan beras sebanyak 2 juta ton dan realisasinya 1,81 juta ton (90,57 persen).
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, Kementerian Perdagangan sudah mengusulkan dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian agar pengawasan di luar kepabeanan dikembalikan ke kepabeanan.
“Hal itu terutama untuk besi-baja, beton, hewan dan produk hewan, serta ban. Namun usulan itu belum disetujui bea cukai dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,” kata dia.
Komoditas yang tetap harus melewati pengawasan kepabeanan antara lain, udang spesies tertentu, bahan berbahaya, bahan perusah ozon, garam, bahan peledak PCMX, tekstil dan produk tekstil (TPT), prekursor, TPT batik dan motif batik, nitro cellulose, minuman beralkohol, beras, limbah non B3, gula, telepon seluler, komputer genggam, kompeter tablet, dan pakaian bekas.
Sementara barang yang pengawasannya di luar kepabeanan antara lain pelumas, mutiara, produk tertentu, kaca lembaran, barang berbasis sistem pendingn, barang modal tidak bagi, intan kasar, hewan dan produk hewan, semen clinker dan semen, produk holtikultura, bahan baku plastik, serta ban.