BANDA ACEH, KOMPAS — Hari Toleransi Internasional dirayakan dengan beragam kegiatan di Banda Aceh, Provinsi Aceh, Sabtu (17/11/2018). Toleransi dan keberagaman yang terbangun di tanah ”Serambi Mekkah” harus semakin diperkuat.
Perayaan Hari Toleransi Internasional jatuh pada setiap 16 November. Namun, di Banda Aceh perayaan dilakukan pada Sabtu, hari libur, agar banyak orang bisa ikut serta. Lebih dari 21 komunitas memeriahkan hari toleransi, mulai dari komunitas perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, hingga lintas etnis. Adapun kegiatan yang digelar lomba dan pameran foto, dialog kebangsaan, dan donor darah.
Dalam dialog kebangsaan, Guru Besar Universitas Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh, Profesor Syahrizal Abbas mengatakan, dalam kehidupan berbangsa, perbedaan agama, etnis, warna kulit, dan bahasa tidak akan memecahkan persatuan. Namun, perbedaan kepentingan yang justru memicu intoleransi. Oleh sebab itu, kata Syahrizal, kepentingan bangsa harus diprioritaskan dibandingkan kepentingan pribadi.
Dalam kehidupan berbangsa, perbedaan agama, etnis, warna kulit, dan bahasa tidak akan memecahkan persatuan. Namun, perbedaan kepentingan yang justru memicu intoleransi.
Dewasa ini, kata Syahrizal, banyak perilaku intoleransi yang sebenarnya dipicu perbedaan kepentingan. Namun, intoleransi itu dibalut dengan isu agama, suku, dan ras. ”Agama, etnis, dan lainnya hanya label. Padahal, di dalamnya adalah beda kepentingan,” ujarnya.
Syahrizal mengajak semua pihak untuk merenungi kembali sejarah bangsa. Pada saat Indonesia dijajah oleh asing, rakyat berjuang bersama untuk satu cita-cita bersama, yakni mengusir penjajah dan membangun bangsa yang merdeka. Bahkan, agama menjadi spirit melawan penjajah.
Syahrizal menambahkan, perlu meningkatkan pemahaman terhadap agama dan sejarah bangsa agar tertanam dalam jiwa bahwa persaudaraan dan keutuhan bangsa adalah kepentingan bersama yang tidak bisa ditawar. Kata Syahrizal, pemahaman yang terbatas terhadap ajaran agama bisa memicu intoleransi.
Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh Khairani mengatakan, toleransi akan terbangun setelah saling mengenal. Oleh karena itu, warga tidak boleh apatis terhadap orang di sekitar meski berbeda etnis dan agama. Dengan saling mengenal, akan lahir sikap saling menghargai dan memahami.
”Jangan harap toleransi muncul jika tidak mengenal sesama. Dengan mengenal, akan saling memahami. Setelah tahu, akan muncul pemahaman terhadap orang lain. Makanya penting silaturahim dan membangun hubungan sosial,” katanya.
Khairani menambahkan, masih terjadi kasus intoleransi, seperti larangan pembangunan rumah ibadah dan pembangunan yang abai terhadap kelompok penyandang disabilitas. ”Ini menunjukkan negara belum sepenuhnya hadir. Pembangunan orientasi proyek bukan keadilan,” katanya.
Meski demikian, kehidupan toleransi di Banda Aceh terbangun sangat baik. Warga non-Muslim dan Muslim hidup berdampingan tanpa ada konflik. Desa Peunayong yang berada di pusat kota menjadi contoh paling nyata kehidupan dalam bingkai keberagaman. Warga Tionghoa hidup harmonis dengan masyarakat.
Desa Peunayong yang berada di pusat kota menjadi contoh paling nyata kehidupan dalam bingkai keberagaman.
Naomi (20), mahasiswa Universitas Syiah Kuala asal Timika, Papua, menuturkan, sebagai non-Muslim, awalnya dia khawatir untuk menetap di Banda Aceh. Namun, setelah dua tahun di Serambi Mekkah, dia mengaku nyaman dan mendapatkan banyak teman. ”Saya betah dan nyaman di sini,” kata Naomi.
Ketua panitia Nurma Susanti Manalu mengatakan, perayaan Hari Toleransi Internasional untuk membuka ruang bagi lintas komunitas, etnis, dan suku di Banda Aceh untuk saling mengenal dan berinteraksi.