Dunia kini mengalami persoalan serius karena begitu banyak fakta obyektif justru dikalahkan oleh emosi atau keyakinan pribadi dalam membentuk opini.
Januari lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump berseloroh akan mewujudkan pembangunan tembok perbatasan AS dengan Meksiko sepanjang 2.000 mil atau 3.218,68 kilometer. Meski rencana itu sangat bombastis, namun Trump bersikukuh melanjutkan salah satu janji kampanyenya tersebut.
José Antonio Zarzalejos, jurnalis sekaligus mantan Direktur ABC asal Spanyol mengatakan, kebenaran telah direlativisir karena fakta-fakta obyektif kalah pengaruhnya daripada emosi atau keyakinan dalam membentuk opini.
Situasi ini semakin diperparah dengan menyebarnya fenomena hoaks. Publik semakin sulit membedakan mana fakta dan mana opini. Orang bahkan semakin tak peduli sebuah argumen sesuai atau tidak dengan pengetahuan dan logika.
"Kini, jurnalisme melemah karena setiap orang menjadi pencipta isi (opini) yang kemudian dibagikannya ke media sosial. Tak ada verifikasi atau upaya untuk mempertanyakan kredibilitas dari sumber informasi yang disebarkan," kata pengajar Filsafat Etika dan Politik Universitas Sanata Dharma dan Universitas Indonesia, J Haryatmoko SJ, Kamis (15/11/2018), dalam Konferensi Nasional Komunikasi Humanis dengan tema "Etika Komunikasi Bisnis di Era Kontemporer" yang digelar Fakultas Komunikasi Universitas Tarumanegara.
Hadir pula tiga pembicara yaitu Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, praktisi periklanan Janoe Arjanto dan Dosen Komunikasi Politik Untar Eko Harry Susanto, serta Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Nezar Patria selaku moderator.
Pada saat ini pula ada kecenderungan munculnya penyebaran informasi yang membakar radikalisme, prasangka negatif dan politik ekstrim melalui media sosial. Informasi- informasi itu disebarkan menggunakan blog, portal palsu, media sosial yang anonim.
Prinsip etika diabaikan
Menurut Haryatmoko, situasi ini membawa konsekuensi pada merosotnya nilai kebenaran, meningkatnya intoleransi dan munculnya permusuhan. "Dalam kondisi seperti ini, prinsip-prinsip deontologi (etika) jurnalisme diabaikan," ucapnya.
Setidaknya terdapat tiga prinsip etika jurnalisme, yaitu hormat dan perlindungan atas hak warna negara akan informasi yang terpercaya, tepat, dan jujur serta sarana-sarana untuk mendapatkannya; hormat dan perlindungan atas hak individu warga negara, seperti hak bersuara, hak berekspresi, jaminan atas privasi, praduga tak bersalah, dan sebagainya; serta prinsip menjaga harmoni masyarakat dengan melarang semua bentuk-bentuk provokasi yang akan membangkitkan kebencian, permusuhan, atau ajakan pada pembangkangan sipil.
Hoaks tenggelamkan fakta
Stanley mengatakan, selain media konvensional (cetak, radio, televisi, dan online) kini merebak pula media sosial. Keduanya memiliki perbedaan mendasar. Media sosial semata-mata menyampaikan informasi, sementara media konvensional menyampaikan berita.
"Berita adalah informasi yang sudah dikonfirmasi, diklarifikasi, dan diverifikasi oleh wartawan. Sedangkan, informasi media sosial bukanlah produk jurnalistik karena tidak melalui proses-proses konfirmasi, klarifikasi, dan verifikasi,"kata Stanley.
Informasi media sosial bukanlah produk jurnalistik karena tidak melalui proses-proses konfirmasi, klarifikasi, dan verifikasi
Namun demikian, di tengah era digitalisasi, muncul kecenderungan baru di mana banyak wartawan masa kini memilih jalan paling mudah untuk menulis, menemukan ide berita, sekaligus memverifikasi sebuah fakta hanya dengan mengandalkan sumber media sosial. "Televisi mengupas fenomena-fenomena yang banyak dibicarakan netizen, media cetak menuliskan ulang, dan media online juga mengupasnya habis-habisan. Di era saat ini, pers harus berupaya keras menemukan fakta, bukan sekedar bayangan tapi kenyataan,"tambahnya.