Mengenal Pendiri Bangsa Lewat Surat
"...aku membutuhkan surat-suratmu untuk bertahan dan mengangkat diri ini saat hampir tengelam dalam soal-soal yang sepele." Kata-kata tersebut merupakan penggalan surat Sultan Sjahrir kepada istrinya, Maria Duchateau.
Surat tersebut dikirim oleh Sjahrir pada 30 Mei 1935 dari lokasi pengasingannya di Tanah Merah, Papua. Kala itu pengasingan memaksa Sjahrir untuk tinggal berjauhan dengan Maria yang tinggal di Amsterdam, Belanda. Surat adalah satu-satunya kanal bagi komunikasi pasangan yang menikah pada 10 April 1932 itu.
Masih dalam bagian surat yang sama, Sjahrir bercerita bahwa ia bisa menceritakan segala kegundahan hatinya melalui surat-surat yang dikirimnya kepada Maria. Meskipun di tempat pengasingan dirinya menemukan banyak orang yang senasib, Sjahrir berkata tak ada satupun yang bisa mengerti perasaannya seperti Maria.
"Kadang-kadang aku merasa bahwa sesama buangan, sampai sahabat yang paling dekat pun, tidak bisa menyelami perasaanku. Di sini aku merasa lebih banyak kesepian dan sendiri, melebihi kesendirian di dalam sel penjara itu sendiri," tulis Sjahrir dalam surat itu.
Sebuah artikel yang ditulis Celeste Robb-Nicholson dalam Harvard Health Publishing menyebutkan bahwa menulis ekspresif atau dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Sebab, di dalam proses menulis seseorang bisa belajar mengatur emosi mereka. Hal itu rupanya terbukti pada kasus mantan Perdana Menteri Indonesia itu. Sjahrir sering kali menuangkan buah pemikiran dan kegelisahannya melalui sepucuk surat.
Kesan itu ditangkap oleh salah satu pengunjung pameran Surat-Surat Pendiri Bangsa yang digelar di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Gladys Angelika (22). Mahasiswa yang mengidolakan Sjahrir itu berkata, berkirim surat adalah salah satu cara untuk membuat Sjahrir tetap hidup.
"Dalam salah satu suratnya Sjahrir berkata bahwa di tempat pengasingan ia hanya berkawan dengan buku- buku dan koran-koran. Hal itu menunjukkan betapa kesepiannya dia. Ia juga menyebutkan bersama dengan surat dari Maria, Sjahrir bisa mengalihkan penderitaannya di tempat pengasingan," ujar Gladys.
Selain kepada istrinya, Sjahrir juga sering berkirim surat dengan para keponakannya. Pada 8 Oktober 1941 misalnya, Sjahrir menulis surat kepada Hedda dan Akkie. Lalu pada 28 Oktober 1958, dari Antwerpen, Belgia, Sjahrir mengirimkan surat kepada Tati yang ada di Perancis.
Keluarga jadi bernostalgia
Direktorat Sejarah - Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan historia.id menggelar pameran surat-surat pendiri bangsa mulai 10-22 November 2018. Pameran yang menampilkan 25 surat yang ditulis oleh Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, R.A. Kartini, Agus Salim dan John Lie.
Dalam salah satu sudut galeri dijelaskan bahwa surat-surat yang dipamerkan merupakan surat-surat pribadi yang ditujukan kepada sanak keluarga dan sahabat, bukan surat-surat formal yang bersifat kedinasan. Tujuannya agar para pengunjung bisa mengenal para pendiri bangsa melalui sisi humanisme mereka.
Pihak keluarga pendiri bangsa sangat mengapresiasi upaya pemerintah itu. Mereka merasa bangga, sebab surat-surat yang dulu dikirim salah satu anggota keluarganya dipamerkan. Melalui cara itu orang lain, khususnya generasi muda bisa mendapatkan inspirasi.
Dinna Lie (54), salah satu keponakan John Lie mengatakan surat-surat yang dipamerkan sangat merepresentasikan kepribadian pamannya itu. "Om memang orangnya tegas, terlihat dalam salah satu suratnya kepada Sjahrir," kata Diana saat ditemui di lokasi pameran.
"Kalau mau bekerja sama lakukanlah dengan benar, jangan berdalih" tulis John dalam surat bertitimangsa 19 Desember 1948 itu. Sebagai perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut ia dikenal lihai menembus blokade laut Belanda untuk menyelundupkan senjata ke Indonesia.
Menurut Diana, di dalam keluarga besar Lie, John dikenal sebagai pria yang senang bercerita dan religius. Sejak kecil ia sering berinteraksi dengan John, sehingga ia tahu bahwa John sering berkirim surat. Namun, ia tak pernah tahu apa yang pamannya itu tulis.
"Ini adalah kali pertama saya membaca surat-surat Om. Ada surat Om dengan tante Margareth juga ternyata," tutur Diana dengan senyum lebih lebar. Melalui surat-surat yang dipamerkan itu ia jadi bernostalgia dan mendapat pesan - pesan keagamaan seperti yang Diana kecil pernah dapatkan.
Dalam sebuah surat bertanggal 20 Januari 1958 kepada istrinya, Margareth Angkuw, John mengutip salah satu isi dalam Alkitab yaitu bagian 2 Timotius ayat 9. "Akan tetapi asas Allah yang teguh itu berdiri tetap dan bermeterai ini: Bahwa Tuhan mengenal orang-orang miliknya dan lagi barang siapa yang menyebut nama Tuhan hendaklah ia menjauhkan dirinya daripada kejahatan," tulisnya.
Sejarawan sekaligus kurator utama pameran, Bonnie Triyana dalam pengantar katalog pameran mengatakan sejumlah 25 surat yang dipamerkan tersebut dipilih karena terverifikasi otentisitas dan muatan pesannya. Surat-surat pribadi itu berasal dari berbagai pihak setelah melalui penelusuran panjang sejak Agustus 2018 di Belanda dan Indonesia.
Surat milik Hatta diperoleh dari koleksi keluarga dan beberapa surat tokoh lain diperoleh dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Sementara, surat Tan Malaka dan Sjahrir ditelusuri di International Institute for Social History, Amsterdam dan Kantor Arsip Nasional Belanda (Het Nationaal Archief) di Den Haag. (KRISTI DWI UTAMI)