Pesona Alam yang Memikat Dunia
Borobudur Marathon kembali lagi dalam harmoni pesona alam, wisata, dan olahraga. Perbaikan telah dilakukan menuju ajang lari dunia. Minggu besok adalah hari pembuktian.
Hening masih membalut kawasan sekitar Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (16/11/2018) pagi. Kabut tipis perlahan tersibak seiring terangnya sinar mentari. Udara sejuk membasuh kulit saat kaki menjejak jalan beraspal yang masih basah, bekas hujan semalam.
Di Jalan Medang Kamulan, sekitar 800 meter di utara kawasan candi, enam orang sedang pemanasan sebelum menjajal rute lari Borobudur Marathon yang akan digelar pada Minggu (18/11).
Keenamnya akan menemani Kompas menjajal lintasan 10K. Namun, pagi itu hanya 5 kilometer yang dilahap. Jalur lomba begitu bersahaja. Sebagian besar melintasi perkampungan tradisional.
Sepanjang jalur, peserta dijamin tak akan bosan. Mereka bisa menikmati tenteramnya persawahan, lengkap dengan sungai-sungai kecil berarus sedang.
Saat berlari, warga menyapa ramah. Senyum mereka menawarkan suasana kekariban. Pemandangan alam lereng Perbukitan Menoreh juga begitu memesona.
”Rute dipilih adalah yang paling ideal. Kami memperhitungkan banyak aspek, mulai dari prasarana jalan, keindahan alam, hingga yang pasti lalu lintas kendaraan,” kata Alex Fajar, pentolan Magelang Runners yang ikut menjadi panitia lokal Borobudur Marathon.
Terkadang, ada jalur yang pemandangannya lebih bagus, tetapi tidak dipilih karena jalannya ramai. Di tempat lain, jalan sepi dan pemandangannya bagus, tetapi tidak dipilih karena kontur jalan tidak rata.
”Kami pilih yang paling ideal mempertimbangkan berbagai faktor. Ini yang membuat rute Borobudur Marathon telah tersertifikasi secara internasional,” kata Andreas Kansil, Pengarah Lomba Borobudur Marathon.
Hal itu untuk mewujudkan keunikan Borobudur Marathon sebagai perlombaan lari bertema wisata. Keunggulan utama Borobudur Marathon adalah jalur yang indah dan kental nuansa budaya khas perdesaan. Itu dijaga sehingga Borobudur Marathon tetap berbeda dengan ajang sejenis.
Segala kondisi itu magnet bagi 10.000 pelari dari sejumlah daerah di Nusantara dan luar negeri. Vina Basyuni (31), peserta asal Timika, Papua Barat, mengatakan pertama kali ikut Borobudur Marathon 2017 di kategori half marathon (21K).
”Ternyata, tempatnya sangat bagus. Saya tak sekadar lari, tetapi juga bisa berwisata dan melihat seni-budaya,” kata Vina yang tahun ini ikut kategori full marathon (42,195K).
Benahi ketentuan
Meski unggul dengan tempat indah dan khas, panitia tak mau terlena dan mengabaikan kualitas penyelenggaraan. Sejak 2017, mereka terus berbenah agar Borobudur Marathon semakin baik dan mendapat pengakuan positif secara nasional hingga internasional.
Andreas mengatakan, untuk memperbaiki kualitas, panitia melakukan pemutakhiran peraturan lomba. Tahun ini, mereka menerapkan sistem cut of time atau batas waktu rute maksimal (COT) dan cut of point atau batas waktu rute minimal (COP) secara ketat. Untuk maraton, COT dibatasi 7 jam. Adapun COP dibagi dua, pada kilometer 21,1 dan kilometer 35.
Adapun untuk kategori half marathon, COT dibatasi 4 jam dan COP pada kilometer 15. Pada 10K, batas waktu maksimal dibatasi 2 jam. ”Tahun lalu, aturannya masih longgar. Tahun ini, kalau lewat COT dan COP akan langsung dievakuasi,” katanya.
Dipo, peserta Borobudur Marathon kategori half marathon asal Yogyakarta, mengapresiasi aturan baru itu. Tanpa pemberlakuan batas waktu ketat, pelari biasanya akan lari tanpa target. ”Yang bisa finis pun akan lebih bangga karena telah melewati tantangan tersebut,” katanya.
Selain itu, panitia juga menambah pacer atau pemandu kecepatan dari 19 orang menjadi 27 orang. Pacer menjadi patokan pelari yang tidak ingin membebani diri dalam menentukan kecepatan. Mereka bisa berlari sesuai kecepatan pacer.
Tahun lalu, pacer hanya ada di rute 10K dan half marathon. Tahun ini, pacer ada di semua rute. Pada kategori 10K, ada pemandu untuk 60 menit, 70 menit, dan 80 menit. Adapun pada half marathon, ada pacer 2 jam, 2 jam 30 menit, dan 2 jam 40 menit. Pada full marathon, ada pacer 5 jam, 5 jam 30 menit, dan 6 jam.
Tahun ini, panitia juga memasang blue line yang merupakan penunjuk jalur paling efisien di rute full marathon. Hal itu memungkinkan pelari bisa berlari di jalur tercepat dengan harapan bisa finis lebih cepat.
Berbasis wisata
Menurut Andreas, Borobudur Marathon bisa mengambil kesempatan menjadi lomba lari berbasis wisata atau destination race layaknya Phuket Marathon di Thailand, Gold Coast Marathon di Australia, atau Great Wall Marathon di China. Ketiga lomba lari tersebut tidak masuk kalender seri maraton dunia, tetapi menjadi lomba terfavorit.
Ketiga lomba itu konsisten mempertahankan kekhasan jalur berupa daerah wisata unik dan turut menampilkan seni budaya lokal. Itu sangat mungkin dilakukan Borobudur Marathon.
Pada Borobudur Marathon 2018, sedikitnya 26.000 warga sekitar candi akan memeriahkan gelaran itu. Selain menjadi barisan penyorak dan penari, mereka juga menyajikan penganan dan hasil panen lokal di sepanjang rute.
Hanya saja, tetap banyak pembenahan yang harus dilakukan. ”Yang paling penting adalah kapasitas tempat. Jalur lomba hanya bisa menampung 10.000 orang. Selain itu, transportasi dan akomodasi di wilayah Magelang juga terbatas,” ujar Andreas.
Peningkatan kualitas di berbagai aspek diharapkan memanggungkan citra Borobudur Marathon. Seperti tema tahun ini, ”Raising Harmony”.
(ADITYA PURTA PERDANA/REGINA RUKMORINI)