Kalau cara berkampanye dua kubu pasangan calon presiden-calon wakil presiden terus-menerus seperti sekarang ini, tampaknya akan terjebak ke dalam ajang Pemilihan Presiden 2019 yang kurang berkualitas. Pemilihan langsung sebagai suatu pilihan rasional pascareformasi pada gilirannya tidak memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Praktik politik hanya didominasi keriuhan ecek-ecek, tidak substantif. Praktik politik lebih menonjolkan pertarungan dua kubu yang tak henti-hentinya. Padahal, pertarungan yang selama ini dipertontonkan tidak indah dipandang mata. Arena politik hanya meninggalkan gaung kegaduhan suara yang bising, yang tidak merdu terdengar di telinga. Akibatnya rakyat semakin tidak melek politik, malah yang terjadi semakin rabun sehingga tidak bisa memandang politik sebagai ”jalan mulia” untuk memajukan negara-bangsa dan memakmurkan rakyatnya. Politik terlalu kentara aroma pelampiasan nafsu berebut kuasa tanpa disertai pencapaian final. Rasanya praktik politik seperti itu semakin jauh dari politik yang berbudaya.
Jangan sampai pula ada pikiran bahwa ngapain menawarkan program yang berat-berat dan kadang terasa ”jauh di langit” karena publik juga tidak membutuhkan sesuatu yang substansial. Karakter zaman now mungkin lebih dapat diterima yang instan dan tak perlu problematik. Gejala seperti ini, misalnya, dapat dilihat dalam perlakuan publik terhadap informasi atau berita. Sekarang ini yang sering menjadi trending topic justru informasi yang tidak jelas juntrungannya. Contoh sederhana, kabar bohong (hoaks) malah lebih viral dibandingkan dengan berita yang valid dan sudah terkonfirmasi. Aroma sensasional lebih terasa. Publik malah ”lebih percaya” mengonsumsi berita yang tak tepercaya. Kalau ada berita tak jelas justru ramai-ramai direspons. Dalam suasana seperti itu, rasanya tiada diskursus kampanye yang berbobot dan substansial yang bisa dipahami publik sebagai road map untuk masa depan bangsa dan negara ini.
Tak mengherankan jalan menuju Pilpres 2019 lebih didominasi perdebatan yang ringan-ringan, bahkan ganjil, aneh, ironi, anomali, yang justru membuat dada terasa sesak. Kritik tidak disampaikan secara elegan dengan argumentasi beradu data dan fakta. Kritik malah dilontarkan secara nyinyir dan lebih memperlihatkan mencari-cari kesalahan. Padahal, sejatinya kritik itu titik beratnya pada upaya untuk ”perbaikan”, bukan untuk ”penjerumusan”. Maka, apa yang kita saksikan menuju Pilpres 2019 ini lebih banyak permainan kata-kata dan berebut ruang publik yang sensasional. Kalau diamati lebih banyak sekadar berbalas pantun, tak sampai menusuk ke jantung persoalan. Ketika Jokowi melontarkan istilah politikus sontoloyo dan politik genderuwo langsung dibalas Fadli Zon dengan puisi ”ada genderuwo di Istana”.
Ada juga Titiek Soeharto yang menganggap Jokowi berbohong karena tidak menepati janji untuk swasembada pangan, malah sebaliknya impor. ”Bohong kok minta dipilih dua kali,” kata Titiek di Banten. Ujung-ujungnya rindu zaman sang ayah, Soeharto, yang berkuasa 32 tahun era Orde Baru. ”Sudah cukup…. Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia,” cuit Titiek.
Ini barangkali menjadi salah satu dampak pendidikan politik yang jalan di tempat. Reformasi tahun 1998 adalah koreksi terhadap Orde Baru. Kita tidak boleh mandek apalagi sampai mengalami kemunduran. Biarlah itu menjadi sejarah, betapa pun kelamnya. Negeri ini harus bergerak ke depan menggapai masa gilang-gemilang. No point ro return! Seharusnya rezim reformasi ini dapat menawarkan gagasan yang lebih baik, lebih brilyan, lebih demokratis, lebih transparan, lebih akuntabel sesuai amanat reformasi. Dan, itu bisa digapai apabila elite politik berhenti ribut dan saling terkam. Perilaku politik seperti itu hanya menghasilkan mutu pendidikan politik yang rendah. Ini bisa dilihat pula dengan kasus pemasangan poster dan spanduk poster "Raja Jokowi" di seantero Jawa Tengah. Poster "demokrasi-monarki" ini memang aneh karena tidak compatible, walaupun banyak dinasti politik dalam sistem demokrasi modern sekarang.Model poster seperti itu bukannya menambah citra positif tapi justru menjadi negatif.
"Tentu yang punya gawe itu orang yang punya duit. Kalau pendukung Jokowi, maaf, pemahaman organisasinya rendah, pemahaman budayanya rendah. Tapi kalau lawan, dia jago, punya kecerdasan luar biasa, karena kalau keliru menurunkan (poster), isu tersebar PDI-P turunkan gambar Jokowi, cari sensasi," kata Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah Bambang Wuryanto, yang juga Ketua Wakil Ketua Komisi I DPR itu. Hasil pelacakan ternyata pemasang poster dan spanduk itu adalah Kaukus Anak Muda Indonesia (KAMI) yang mengaku sebagai pendukung Jokowi. Semestinya ini menyadarkan para elite politik bahwa politik perseteruan atau pertengkaran yang selama ini mereka praktikkan telah melupakan tugas utama yaitu memperkokoh pendidikan politik buat rakyat. Dengan begitu elite politik sebetulnya menumpuk utang yang tak pernah terlunasi. Ini yang harus disadari elite politik.
Oleh kerena itu, walaupun masing-masing kubu ngotot berebut penguasaan di panggung Pilpres 2019, tetapi tidak sepatutnya melupakan pendidikan politik rakyat. Cuitan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setidaknya menjadi dasar pemikiran untuk mengubah cara berkontestasi. Menurut SBY, faktor capres paling menentukan dalam arena pilpres karena ia adalah superstar. "Capres mesti miliki narasi & gaya kampanye yang tepat," kata SBY, “Kalau jabaran visi-misi itu tak muncul, bukan hanya rakyat yang bingung, para pendukung pun juga demikian. Sebaiknya semua introspeksi.”
Suara SBY itu merespon apa yang disampaikan Partai Gerindra, sesama anggota koalisi yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Sebelumnya Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menagih janji Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono untuk mengampanyekan Prabowo-Sandi. "Pak SBY juga berjanji akan melakukan kampanye untuk Prabowo dan Sandi, walaupun sampai sekarang belum terjadi," kata Ahmad Muzani di Jakarta, Selasa (13/11). Biarlah itu menjadi komunikasi internal antar sesama partai satu koalisi. Tetapi, apa yang disampaikan SBY terasa mendesak guna membangun pola kampanye politik yang lebih substansial, positif, dan konstruktif. Supaya politik kita tampak lebih cerdas dan mencerahkan pula.