Disintegrasi sosial telah menjadi ancaman yang harus diwaspadai di Indonesia. Isu diskriminasi bermuatan rasial dan etnis erat terkait dengan politik elektoral.
Jakarta, Kompas - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai potensi segregasi atau perpecahan sosial di Indonesia cukup tinggi. Hal ini karena kesadaran pejabat negara dan masyarakat tentang diskriminasi ras dan etnis masih rendah. Apabila dibiarkan, keadaan itu dapat mengancam kebinekaan dan keberagaman bangsa.
Dalam paparan hasil survei Komnas HAM bersama Litbang Kompas tentang Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi, Jumat (16/11/2018), di kantor Komnas HAM, Jakarta, komisioner Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, M Choirul Anam, mengatakan, mayoritas masyarakat Indonesia punya solidaritas internal yang tinggi. Alhasil, mereka lebih nyaman bersama dengan kelompok yang memiliki kesamaan ras dan etnis.
Hasil survei menunjukkan 87,2 persen masyarakat Indonesia menilai persamaan ras menguntungkan kehidupannya. Sementara itu, 88,1 persen masyarakat menganggap lingkungan sosial dengan persamaan etnis dapat memudahkan kehidupan.
”Solidaritas sesama etnis dan ras itu menunjukkan segregasi sosial kita tinggi. Atas dasar itu, kami berharap jangan ada narasi atau guyonan yang menyinggung etnis atau ras untuk tujuan tertentu, seperti politik dan ekonomi, karena akan meruncingkan segresitas itu,” ujar Anam.
Paparan hasil survei ini disampaikan Anam bersama Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan peneliti Komnas HAM, Elfansuri Chairah.
Survei itu dilakukan terhadap 1.207 responden berusia 17-65 tahun di 34 provinsi. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara tatap muka pada 25 September-3 Oktober 2018.
Elfansuri menambahkan, data itu menunjukkan potensi tindakan diskriminasi ras dan etnis cukup besar. ”Setidaknya hasil survei itu mengidentifikasikan sikap permisif sebagian masyarakat terhadap diskriminasi ras dan etnis yang terjadi di tengah lingkungannya,” katanya.
Pemahaman lemah
Di sisi lain, pemahaman aparat negara dan masyarakat terhadap diskriminasi ras dan etnis juga masih kurang. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 disebutkan empat tindakan diskriminatif, yaitu tulisan atau gambar, berpidato atau mengungkapkan kata-kata di ruang publik, mengenakan sesuatu benda atau gambar, dan merampas nyawa orang lain.
Sekitar 70 persen responden menyatakan tidak pernah melihat tindakan diskriminatif yang berupa tulisan, pidato, atau pemakaian atribut.
Namun, ada 5,6 persen responden yang pernah melihat gambar atau tulisan diskriminatif di fasilitas milik pemerintah, seperti kantor kelurahan, sekolah negeri, dan puskesmas. Lalu, ada 3,6 persen responden menyaksikan pidato bernuansa diskriminatif dan 5,7 persen publik melihat adanya penggunaan atribut diskriminatif di gedung pemerintahan.
”Temuan itu menunjukkan Bhinneka Tunggal Ika masih cenderung hanya berupa jargon. Belum ada upaya langsung dari pemerintah untuk menjaga keberagaman dan kebangsaan kita,” ujar Anam.
Masih mudahnya ditemukan tindakan diskriminatif ini, menurut Anam, juga disebabkan masih lemahnya pengetahuan masyarakat bahwa diskriminasi ras dan etnis dapat ditindak secara hukum. Dari hasil survei itu, hanya 56,3 persen masyarakat yang mengetahui adanya sanksi hukum terhadap pelanggaran diskriminasi ras dan etnis.
Politik
Menurut Taufan, disintegrasi sosial adalah persoalan nyata bangsa Indonesia. Ia mengungkapkan, pengaduan terhadap isu diskriminasi ras dan etnis meningkat pada kontestasi politik.
”Isu diskriminasi bermuatan rasial dan etnis erat kaitannya dengan politik elektoral. Untuk itu, kami telah berkomunikasi dengan Polri dan penyelenggara pemilu guna melakukan pemantauan Pemilu 2019 di sekitar 20 provinsi,” tutur Taufan.
Agar persaingan politik tidak menyebabkan perpecahan sosial, menurut Taufan, pihaknya akan memperkuat edukasi di masyarakat. Langkah itu dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas warga negara terhadap isu diskriminasi ras dan etnis, serta menyadari hal itu adalah masalah HAM dan hukum. (Sharon Patricia)