Tawaran China Ditanggapi secara Hati-hati
Sejarah menunjukkan, ada masa pasang surut bagi suatu negara dan peradaban untuk menjadi pemegang roda perekonomian dunia. Kekaisaran Romawi, Kesultanan Mughal, dan Kerajaan Inggris pernah mengecap kejayaan ekonomi di masa lampau.
Di masa yang lebih modern, negara Amerika Serikat menjadi kekuatan ekonomi terbesar dunia. Kendati demikian, China terus mengintil AS di posisi kedua. Berbagai inisiatif dilakukan China untuk meningkatkan perekonomian negara tersebut. Salah satunya dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI).
Prakarsa Sabuk dan Jalan adalah proyek China untuk meningkatkan konektivitas dan kerja sama lintas benua yang dicetuskan pada 2013. Program ini akan memperkuat infrastruktur, perdagangan, dan investasi kawasan yang dilalui prakarsa itu dengan nilai investasi lebih dari 1 triliun dollar AS. Kawasan yang dilewati adalah Asia Tengah, Asia Selatan, Eropa, hingga Afrika.
Keagresifan China dalam merealisasikan Prakarsa Sabuk dan Jalan selama beberapa tahun belakangan terus membuat sejumlahi negara menyalakan alarm kewaspadaan, tidak hanya AS. Kendati demikian, prakarsa ambisius tersebut dinilai sebagian pihak masih belum memiliki tujuan yang transparan, termasuk dalam proses pelaksanaannya.
Selain itu, sejumlah negara juga menganggap proyek itu sebagai jebakan utang bagi negara di Asia dan Afrika. Tidak sedikit negara yang telah mengikuti proyek itu kini terlilit utang besar kepada China, seperti Sri Lanka, Mongolia, Tajikistan, Kirgistan, Ethiopia, dan Zimbabwe.
Malaysia bergerak cepat. Baru-baru ini, Malaysia dengan pemerintahan yang baru diganti itu memutuskan untuk menunda investasi miliaran dollar AS untuk rel kereta api yang telah disetujui China dan Pemerintah Malaysia sebelumnya.
Tak ketinggalan, negara lain dengan perekonomian besar, seperti Jerman dan Jepang, juga semakin cermat meneliti pergerakan China mengenai proyek tersebut. Kedua negara ini sebelumnya sempat ditawarkan China sebagai partner dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan.
Jerman dan Jepang menanggapi dengan cara yang berbeda atas tawaran tersebut. Jerman lebih memilih untuk mundur dan menawarkan prakarsa alternatif kepada negara-negara mitra di kawasan strategis.
Pejabat senior Kementerian Luar Negeri Jerman, Walter J Lindner, mengatakan, Jerman tidak pernah menentang prakarsa itu. Kendati demikian, proses tender proyek yang dilakukan tidak transparan sehingga memicu kekhawatiran negara dengan perekonomian terbesar keempat versi Dana Moneter Internasional (IMF) pada 2018 ini.
Kekhawatiran yang dimaksud adalah jebakan utang, pengintaian, dan ketergantungan terhadap China. ”Kami ingin prakarsa yang terbuka di mana perusahaan internasional dari negara mana pun bisa ikut, tidak hanya perusahaan China,” tutur Lindner, di Jakarta, Sabtu (3/11/2018), dalam Asia Pacific Conference of German Business (APK) 2018.
Ia melanjutkan, selain China, masih banyak prakarsa serupa lainnya dari Jepang dan AS. Keberadaan prakarsa-prakarsa tersebut justru semakin memberikan variasi pilihan kepada negara yang membutuhkan. Yang terpenting, negara-negara yang ditawarkan memilih proyek dengan pertimbangan jangka panjang.
Ketua Komite Bisnis Asia Pasifik Jerman (APA) Hubert Lienhard menambahkan, Uni Eropa menawarkan prakarsa bernama Konektivitas Eurasia. Proyek ini berguna menghubungkan Eropa Timur dengan Asia Tengah melalui proyek infrastruktur, digitalisasi, kecerdasan buatan, keamanan siber, dan teknologi lainnya.
Sementara itu, berbeda dengan Jerman, Jepang tetap menjalin kerja sama dengan China. Pemerintah menyerahkan pebisnis Jepang yang berinteraksi dengan tawaran tersebut. Namun, pendekatan dilakukan secara perlahan karena China masih belum transparan dalam mengelola proyek.
Profesor Takashi Terada dari Universitas Ooshisha menceritakan, Perdana Menteri Jepang Shinzō Abe bersama 500 pebisnis baru saja pergi ke China. Mereka akan bekerja sama dengan pebisnis China untuk mengerjakan 52 proyek.
Indonesia
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI Siswo Pramono menyampaikan, Indonesia tetap membuka diri atas tawaran kerja sama dari semua negara, termasuk China. Namun, Indonesia dinyatakan hanya menerima proyek sesuai dengan rancangan proyek strategis yang telah direncanakan pemerintah.
Sejauh ini, Indonesia baru menyuntikkan dana 5 miliar dollar AS dalam prakarsa yang ditawarkan China tersebut. Nilai itu masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia sebesar 15 miliar dollar AS dan Pakistan 61 miliar dollar AS.
Menggiurkan
Direktur Pelaksana Kamar Dagang Jerman (AHK) Indonesia Jan H Roӧnnfeld mengatakan, China menawarkan fasilitas pendanaan yang menggiurkan untuk negara berkembang untuk mendukung prakarsa itu. Namun, tawaran tersebut harus diteliti lebih lanjut karena tidak mungkin tawaran tersebut diusulkan jika tidak menguntungkan China.
”Investasi China juga sebenarnya untuk memenuhi produksi perusahaan China,” ujar Roӧnnfeld. Dengan kata lain, perusahaan China telah mencapai titik telah mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga telah mampu melakukan ekspansi ke luar negeri.
Prakarsa Sabuk dan Jalan yang diusulkan China juga menguntungkan negara itu dari segi ketenagakerjaan. Perusahaan China akan tetap beroperasi sehingga kebutuhan lapangan pekerjaan tetap terpenuhi.
Negara yang ingin menerima bantuan dana China, katanya, perlu memikirkan kembali manfaat yang akan diperoleh. termasuk konsekuensi kewajiban membayar kembali utang. Indonesia juga harus melakukan hal yang serupa.