Vonis Atas Nuril Dinilai Tak Sejalan dengan Perma Nomor 3 Tahun 2017
Oleh
Sonya Hellen Sinombor dan Khairul Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Putusan kasasi Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat dengan pidana enam bulan dan denda Rp 500 juta pada 26 September 2018 dinilai sejumlah kalangan sebagai bentuk kriminalisasi. Putusan dan tidak sejalan dengan semangat peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Hakim Mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Pemerintah dan DPR didesak segera mengevaluasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya ketentuan-ketentuan karet yang berkaitan erat dengan kebebasan berekspresi. Langkah ini penting, agar tidak ada lagi korban karena pasal-pasal dalam UU tersebut. Presiden Joko Widodo juga diminta memberikan amnesti kepada Baiq Nuril dengan melalui pertimbangan DPR. Adapun kejaksaan diminta tidak terburu-buru melakukan eksekusi atas putusan tersebut.
Presiden Joko Widodo juga diminta memberikan amnesti kepada Baiq Nuril dengan melalui pertimbangan DPR.
Hingga Jumat (16/11/2018), kecaman dan kritik terus disampaikan antara lain oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia-Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), dan Internet Lawyer Network (ILawNet).
“Kami menyesalkan putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan yang bersangkutan bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU 11/2008 tentang ITE,” ujar Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu.
Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu menyatakan jika putusan MA dinilai tidak adil, tidak tertutup kemungkin Nuril untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Soal dugaan pelecehan seksual, Nuril diminta melaporkan kepada kepolisian.
Kasus Baiq Nuril berawal pada tahun 2014 ketika dia dilaporkan M, kepala sekolah di tempatnya bekerja dengan tuduhan pencemaran nama baik. Nuril merekam pembicaraan telepon dengan M karena merasa dilecehkan, sebab M menceritakan hubungan asmaranya dengan seorang wanita lain yang mengarah ke pornografi. Rekaman itu belakangan disebarluaskan rekan Nuril dan berujung pada laporan M ke Polres Mataram awal 2017.
Nuril kemudian dilaporkan kepada kepolisian, kemudian diproses hukum dengan tuduhan mendistribusikan/mentransmisikan /membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam UU ITE. Atas kasus tersebut Nuril ditahan selama dua bulan. Nuril dituntut pidana penjara enam bulan dan denda Rp 500 juta, namun majelis hakim PN Mataram menjatuhkan vonis bebas kepada Nuril. Jaksa penuntut umum kemudian mengajukan kasasi, dan MA menjatuhkan vonis kepada Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Kepala Kejaksaan Negeri Mataram, I Ketut Sumadana, Kamis (15/11/2018) menyatakan sudah menerima salinan putusan MA terkait kasus tersebut pada Senin (12/11/2018 dan siap melakukan eksekusi atas putusan itu.
Berharap kepada Presiden Jokowi
Adapun Nuril hanya bisa pasrah dengan putusan MA. "Saya mau sampaikan kebenaran kemana lagi? MA kan lembaga paling tinggi di negara ini. Saya hanya bisa berharap Pak Presiden Jokowi mau ikut peduli, karena hanya itu yang bisa mengubah ini," kata Nuril, Kamis.
Saya hanya bisa berharap Pak Presiden Jokowi mau ikut peduli, karena hanya itu yang bisa mengubah ini.
Penasihat Hukum Nuril, Aziz Fauzi menegaskan hingga saat ini kliennya belum menerima salinan lengkap putusan MA. "Kami baru menerima petikan putusan. Itu tidak bisa menjadi dasar dari jaksa untuk eksekusi, karena melanggar Kitb Undang-Undang Hukum Acara Pidana,"ujar Aziz.
Nuril juga mendapat dukungan masyarakat yang mengumpulkan dana untuk membayar denda, melalui laman https://kitabisa.com/saveibunuril. Hingga Jumat malam, pukul 21.45. jumlah dana yang terkumpul sekitar Rp 244 juta.