Pertanian kota menjadi jawaban bagi warga perkotaan untuk membuat lingkungan asri, konsumsi pribadi, sumber ekonomi, hingga penyaluran hobi. Namun, ada keterbatasan lahan dan waktu.
Oleh
Eren Marsyukrilla /Litbang Kompas
·4 menit baca
Pertanian kota menjadi jawaban bagi warga perkotaan untuk membuat lingkungan asri, konsumsi pribadi, sumber ekonomi, hingga penyaluran hobi. Namun, ada keterbatasan lahan dan waktu.
Pertanian kota atau urban farming dikenal sejak abad ke-19, sebagai alternatif solusi menjamin ketahanan pangan. Kala itu, Jerman membangun taman bernama Allotment Garden untuk menghadapi ancaman kelaparan. Saat Perang Dunia II, Amerika Serikat mencanangkan program Victory Garden dengan bercocok tanam di sela lahan kota. Ini memasok 40 persen pangan warga.
Di Indonesia, konsep bertani di lahan perkotaan dengan metode bertanam yang efektif di lahan terbatas tersebut marak 10 tahun terakhir. Komunitas Indonesia Berkebun, salah satunya. Gerakan yang dibentuk pada 2011 ini awalnya berbasis di Jakarta dan Bandung, dan belakangan berkembang ke 30 kota lain.
Masifnya penyebaran informasi dan edukasi tersebut membuat urban farming menjadi tren gaya hidup baru perkotaan. Sejalan dengan itu, metode ilmu pertanian pun berkembang dengan cara bertanam yang lebih aplikatif untuk perkotaan.
Jajak pendapat Kompas akhir Oktober lalu menangkap, lebih dari 90 persen responden optimistis jika pertanian kota mungkin dilakukan. Lebih dari separuh warga menyatakan, bercocok tanam bisa dilakukan dengan media tanam pot.
Model pot bersusun vertikal salah satu metode bertanam yang menghemat lahan. Pot berisi tanaman hias atau sayur diatur bersusun tiga atau empat pot dan bisa ditaruh di dalam atau luar rumah.
Sekitar 35 persen responden memilih teknik tanam hidroponik dan aeroponik. Metode hidroponik menggunakan media tanam air yang didalamnya dilarutkan nutrisi hara yang selanjutnya dialirkan ke media pasir, pecahan batu bata, arang sekam, dan kerikil. Adapun metode aeroponik menggunakan styrofoam dan busa. Air berisi nutrisi hara hanya digunakan sebagai sarana penyemprot akar tanaman.
Kemajuan dalam teknologi pertanian tersebut telah meruntuhkan stigma bertani harus di lahan yang luas. Kini, berkebun bisa dilakukan lebih mudah. Ketertarikan orang kota pada bercocok tanam semakin besar.
Sekitar empat dari lima orang menyatakan pernah bertanam di sekitar rumahnya. Baik sekadar tanaman hias; tanaman obat seperti jahe, kunyit, dan sirih; hingga tanaman sayur dan buah.
Seperti yang dilakukan warga di Kelurahan Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, yang memanfaatkan lahan kosong di pinggir sungai dan gang permukiman warga untuk urban farming. Kawasan lain seperti Pengadegan, Pancoran, dan Pondok Labu Jakarta Selatan mulai mengikuti jejak Cempaka Putih dengan mengembangkan pertanian hidroponik.
Perusahaan pengelola apartemen di Jakarta Inner City Management (ICM) juga menerapkan urban farming di apartemen Nias Residen Kelapag Gading dan Mediterania Garden 2 Tanjung Duren sejak 2011. Kegiatan pertanian dilakukan di tempat kosong bagian atas apartemen dengan menggunakan kaleng dan botol bekas yang diisi kompos sebagai media tanam. Tumbuhan yang ditanam beragam mulai dari tanaman hias juga sayuran seperti pokcoy dan kangkung.
Pertanian kota sudah barang tentu membuat lingkungan menjadi semakin asri dan menghindarkan diri dari kekumuhan kawasan. Mayoritas responden (63 persen) sepakat dengan manfaat dari berkebun di perkotaan.
Tak hanya itu. Sebanyak 17 persen berpendapat, tanaman yang produktif dapat dinikmati hasilnya sebagai bahan konsumsi keluarga. Bahkan saat produksinya berlimpah bisa dijual dan menambah penghasilan keluarga. Seperti di kawasan Cempaka Putih yang menghasilkan puluhan kilogram sayur sekali panen dan siap dijual ke beberapa hotel dan supermarket.
Keuntungan lainnya, berkebun dapat menjadi medium menghilangkan stres dan membuat jauh lebih bahagia. Setidaknya terdapat 17 persen responden selebihnya sepakat jika berkebun dapat menjadi salah satu sarana menyalurkan hobi. Hasil studi di City University London menjelaskan kontak teratur dengan tanaman, hewan dan lingkungan alami dapat meningkatkan kesehatan mental.
Meski demikian, banyak faktor yang juga membuat orang di kota menjadi enggan untuk menggeluti pertanian. Separuh lebih menungkapkan keterbatasan lahan alasan menjadi penyebabnya. Selain itu, sekitar 23 persen justru beralasan tidak memiliki waktu luang dan merasa repot jika harus mengurus tanaman.
Padatnya rutinitas ala perkotaan terkadang memang banyak menguras energi dan waktu para kaum urban. Keberadaan tanaman di sekitar lingkungan setidaknya bisa membantu melepas jenuh dan jika dikelola serius bisa dikonsumsi ataupun komoditas ekonomi.