Selama dua bulan masa kampanye menjelang Pemilihan Presiden 2019 telah berlangsung, setiap pasangan pihak yang berkompetisi, pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno masih sering berkutat pada jargon-jargon politik.
Pengajar komunikasi politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Gun Gun Heryanto mengatakan, sebetulnya penggunaan jargon dapat menyentuh emosi pemilih dan membantu upaya pemenangan pemilu seperti yang terjadi pada Pemilu Presiden Amerika Serikat pada 2016.
Saat itu, pengusaha Donald Trump yang diusung Partai Republikan memenangi pemilu melawan mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dari Partai Demokrat.
Sepanjang kampanye sebelum pemilu, Trump sering menyerang imigran asal Meksiko sebagai pelaku kejahatan dan merebut pekerjaan rakyat Amerika. Rangkaian narasi yang mengutamakan kebijakan-kebijakan proteksionis itu dirangkum dalam slogan ”America First” dan ”Make America Great Again”.
Kemenangan Trump tersebut, kata Gun Gun, menunjukkan kampanye program yang dilakukan Clinton kalah dengan narasi kebohongan (firehouse of falsehoods) yang dilakukan oleh Trump. ”Rasa takut, rasisme, itu ternyata menarik bagi publik. Narasi besar itu yang dimainkan oleh Trump,” kata Gun Gun saat ditemui di Jakarta pertengahan pekan ini.
Setelah terpilih, Trump bahkan mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif dan rasis. Selain kebijakannya melarang Muslim masuk AS, Trump juga tidak secara langsung mengecam pendukung supremasi kulit putih (white supremacist/neo-Nazi) yang melakukan pawai di Charlottesvile, Virginia, pada 12 Agustus 2017.
Hal yang serupa pun terjadi di Indonesia. Kini hoaks pun bertebaran di ruang publik, khususnya media sosial. Kekuatan asing, contohnya China dijadikan antagonis, seperti dalam isu tenaga kerja asing yang dianggap merebut lapangan pekerjaan.
Berbagai tuduhan juga muncul, menyerang kedua pasangan calon. Dengan pola yang tidak berubah sejak pencalonannya pada Pemilu 2014, Jokowi masih diserang dengan isu pro-PKI, anti-Islam, hingga keturunan Tionghoa. Sementara itu, Prabowo dilabeli dengan berbagai stigma seperti antidemokrasi dan tidak Pancasilais.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Prof Hamdi Muluk, jargon-jargon apa pun yang dimunculkan tetap harus memunculkan gagasan dan program-program yang konkret.
”Setelah mengaduk-aduk masyarakat dengan firehouse of falsehoods tadi, Trump datang menawarkan solusi program, seperti ekonomi proteksionis. Itu yang mungkin membuatnya berhasil,” kata Hamdi.
Saat berkampanye, Trump menjanjikan akan mengurangi impor barang masuk dari negara-negara asing dan keluar dari kesepakatan dagang yang ”dianggap” merugikan rakyat AS. Ia pun menjanjikan reforma pajak dengan butir-butir pengurangan pajak bagi masyarakat kelas menengah, menyederhanakan regulasi pajak, dan meringankan pajak korporasi. Rencana-rencana konkret ini menjadi poin-poin kampanye yang disampaikan oleh Trump seiring ucapan-ucapannya yang memecah belah AS.
Hamdi berharap, politisi Indonesia tidak lagi menggunakan hoaks, ujaran kebencian, isu-isu primordial dalam kampanye politiknya seperti Trump. ”Itu bukan pendidikan politik yang baik untuk rakyat Indonesia,” kata Hamdi.