Keajaiban Dua Malam
Hidup adalah perjalanan. Nikmati setiap langkahnya sebelum perjalanan itu terhenti.
Perjalanan selama tiga hari dua malam ke Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur, September lalu, adalah petualangan di lautan dengan kapal pesiar Prana by Atzaro. Perjalanan yang menjanjikan birunya laut, semilir angin dari atas yacht, dan pemandangan surga di timur Indonesia.
Keberangkatan ke Labuan Bajo itu memenuhi undangan
Dreamscape Travel Network, agen perjalanan wisata yang kerap melayani trip wisata bagi para pemilik perusahaan dan CEO dalam dan luar negeri. Petualangan dimulai saat pesawat tipe Bombardier CRJ1000 Garuda Indonesia membawa kami berangkat dari Jakarta menuju ke Bandar Udara Komodo di Labuan Bajo.
Dari situ, kami menuju Ayana Komodo Resort Waecicu Beach, sebuah resor yang baru dibuka per 15 September 2018. Meski baru dibuka, resor bintang lima itu sudah memiliki tingkat okupansi 80 persen. Menurut Dwi Lisminarni, yang menangani relasi publik Ayana Komodo Resort, Ayana memiliki 205 kamar.
Ayana terletak di tepi Pantai Waecicu, menghadap Gunung Kukusan. Beberapa ruang terbuka di situ dirancang untuk menjadi lokasi pesta terbuka menghadap laut. Ayana berada di area seluas 1,4 hektar ini juga memiliki dermaga kayu yang berkelok-kelok menjorok ke laut.
Istimewa
Dari Ayana, wisata Labuan Bajo berlanjut. Kami naik kapal cepat menuju yacht. Prana, kapal pesiar kayu yang baru beroperasi tiga bulan, menyambut kami dengan keindahan bentuk dan keramahan krunya. Ucapan selamat datang dan segelas jus buah menjadi pengusir hawa panas lautan.
Kapal ini berukuran panjang 55 meter dan lebar 7 meter. Di situ terdapat9 kamar dengan interior mewah serba kayu, empat dek, ruang makan, minibar, ruangan spa, dan loker penyimpanan alat-alat selam dan snorkeling. Untuk kepentingan darurat, dua kapal cepat selalu disiagakan (terikat pada kapal).
Dengan fasilitas mewah itu, tak heran kapal pesiar ini disewakan 14.000 dollar AS per malam. Wisatawan bisa memesan per kamar atau menyewa (charter) seluruh kapal. Namun, selama beroperasi tiga bulan ini (enam kali trip), semuanya bersistem charter. Yacht ini maksimal diisi penumpang sebanyak 18 orang.
Saat itu, rombongan kami berjumlah total 15 orang. Di antara mereka ada pengusaha dan pemimpin perusahaan di Indonesia, pasangan dokter dari Singapura, juga turis asal Amerika Serikat.
Meski datang dengan latar belakang berbeda, suasana dibangun untuk tak bersekat. Penuh tawa sebanyak mungkin mereguk bahagia.
”Kami melakukan banyak hal untuk membuat perjalanan menjadi seperti ini. Memang tidak terlihat, tetapi kami menyiapkan semuanya sejak awal. Kami melihat tipikal orang dan mengelompokkannya dalam satu trip yang sesuai. Perjalanan ini bukan sekadar berwisata menuju satu tempat, melainkan juga sebuah pengalaman,” kata Fitri Tresnawida, Managing Director
Dreamscape Travel Network.
Perjalanan itu juga tak melulu soal kapal pesiar. Sebagai wisatawan, menjelajahi eksotika alam adalah keharusan. Hari pertama, persis saat matahari meninggi di atas kepala, yacht berhenti di perairan Pulau Sebayor Kecil. Di sana, aktivitas snorkeling dan selam ditawarkan bagi para penumpang. Andi Brusselmans, cruise director, bertanya siapa saja yang tidak bisa berenang dan menyarankan beberapa alternatif kegiatan pengganti bagi mereka yang enggan turun ke laut.
Sebagian penumpang yang sudah mengantongi lisensi menjelajahi kedalaman lautan memilih untuk menyelam. Sebagian lainnya bersama tiga orang lainnya memilih snorkeling di sekitar pantai.
Pada hari kedua, saat mentari pagi masih malu-malu, kami berlatih yoga dipandu Gina dan Nina, dua instruktur berkebangsaan Belanda dan Jerman. Beberapa gerakan peregangan membuat tubuh yang semula kaku menjadi lentur dan kembali bersemangat.
Siangnya kami menikmati perairan Makassar Reef (Karang Makassar). Sensasi berlarian di atas putihnya pasir pantai, lalu berpuas melongok laut berwarna hijau kebiruan, tak ubahnya mimpi di tengah hari. Saat jam makan siang. chef Bruno menyajikan menu khas Jawa: nasi goreng dan ayam goreng. Variasi pilihan menu ini menyenangkan. Sebelumnya, kami menyantap sajian masakan ala Barat. Kenyang mendulang energi dengan nasi dan ayam goreng, kami pun siap melanjutkan petualangan.
Pengalaman menarik lain dari perjalanan ke Labuan Bajo adalah singgah ke konservasi komodo. Kali ini, rombongan kami memilih melihat komodo di Loh Buaya-Pulau Rinca. Menurut pemandu perjalanan ini, mengintip komodo di Loh Buaya tidak kalah menarik ketimbang di Pulau Komodo langsung. Sebab, di situ pengunjung tidak terlalu berjubel seperti di Pulau Komodo.
Komodo eksotik
Sebelumnya, ada satu pertanyaan diajukan oleh pemandu, yaitu adakah di antara rombongan perempuan yang sedang menstruasi. Konon, komodo bisa mencium anyir darah menstruasi dan dikhawatirkan menjadi agresif.
Setelah beberapa saat naik kapal cepat dari titik kapal pesiar kami berhenti, tibalah kami di dermaga kayu Loh Buaya. Terik siang itu menyengat. Namun, rasa penasaran untuk menengok komodo dari dekat mampu mengalahkan hawa panas itu.
Kami meniti jalur cor beton yang membelah kawasan konservasi tersebut. Berulang kali kami diingatkan untuk menaati peraturan saat bertemu dengan komodo. Seperti tidak mendekat dengan tiba-tiba, memberi makan, dan beberapa larangan lainnya.
Pemandu juga menanyakan apakah kami ingin menjalani trip jarak pendek, menengah, atau panjang dalam menjelajah lahan konservasi itu. Pada trip pendek, misalnya, pengunjung hanya akan melihat komodo secara terbatas. Rombongan kami memilih trip kedua dengan tujuan akhir melihat lautan Labuhan Bajo dari ketinggian.
Kami menyusuri kawasan kering dengan beberapa tanaman meranggas di sana-sini. Mana komodo itu? Demikian pertanyaan hampir dari seluruh rombongan. Keberadaan komodo nyaris tak terlihat jika pemandu tak memberi tahu kami. Warna abu-abu kulitnya mampu menyamarkan hewan eksotik ini dengan warna tanah dan dedaunan di sekitarnya.
Di satu titik, kami melihat komodo berkerumun di bawah rumah panggung. Rupanya, penghuni rumah sedang memasak.
”Komodo akan mendekat saat ada orang memasak,” kata pemandu. Kami pun dilarang mendekat karena komodo saat itu sedang bersiaga menerima lemparan makanan dari penghuni rumah.
Perjalanan itu amat mengesankan bagi kami yang belum pernah melihat komodo secara langsung. Satu per satu dari kami pun berfoto dengan komodo. Meski posisi kami agak jauh dari reptil buas itu, pemandu bisa memotretnya seolah-olah kami mengelus mereka.
Puas menyapa komodo, kami pun melanjutkan perjalanan. Lelah berjalan di tengah terik mentari terhapus saat kami tiba di perbukitan. Semilir angin seperti mengusir panas yang sedari tadi mengikuti.
Di kejauhan, birunya perairan Labuan Bajo mempertontonkan keelokannya.