Mak, Inilah Aku yang Sekarang...
Bety (59) terlamun dalam memori kehidupannya 34 tahun silam, pada 1984. Panjang rambutnya kala itu sebahu. Ia mengenakan rok terusan bermotif batik dengan sepatu pantofel hitam mengkilat sambil membawa tas jinjing besar-saat itu sedang hit-di siku tangan kanannya. Tak lupa kaca mata hitam ditenggerkan di kepalanya.
Dengan penampilan itulah, pertama kali ia kembali pulang setelah tujuh tahun pergi dari rumah, tanpa pamit tanpa kabar. Sambil menangis ia mengetuk pintu rumah orangtuanya. Ada rasa ragu di dalam hati Bety.
”Siapa kau?” ujar ibunya sesaat setelah membuka pintu. ”Ini Tedy, Mak. Inilah aku yang sekarang...,” jawab Bety sambil terisak. Tidak ada kata-kata setelah itu, pun dari ibunya, hanya pelukan di antara keduanya.
Secara biologis, Bety terlahir sebagai laki-laki, tetapi tidak secara psikologis. Ia seorang waria, wanita-pria. ”Aku memang lahir sebagai laki-laki, tapi aku punya jiwa, punya hormon sebagai perempuan,” ujar Bety yang lahir dengan nama Tedy Dirhamsyah.
Secara biologis, Bety terlahir sebagai laki-laki, tetapi tidak secara psikologis. Ia seorang waria, wanita-pria.
Dalam Sexual Behavior in the Human Male (1948) dan Sexual Behavior in the Human Female (1953), Alfred Kinsey menyatakan, perilaku seksual, baik yang secara sosial diterima maupun tidak diterima, heteroseksual atau homoseksual, adalah kenyataan.
American Psychological Association (2006) juga menuliskan, identitas jender mengacu pada perasaan seseorang sebagai laki-laki, perempuan, atau transjender. Jika identitas jender dan seks tak selaras secara biologis, seseorang bisa diidentifikasi sebagai transseksual atau kategori transjender lain. (Kompas, 14/12/2015)
Diskriminasi dan berbagai penolakan membuat Bety memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya di Palembang dan pergi ke Jakarta, tempat yang dikiranya bisa lebih bebas mengekspresikan diri dan melepaskan sosok Tedy.
Diskriminasi dan berbagai penolakan membuat Bety memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya di Palembang dan pergi ke Jakarta.
Pilihan itu juga yang dipikirkan oleh Ita (55) dan Neng Ayu (61), serta sebagian besar waria lainnya. Mereka memilih hidup bersama komunitas sekaumnya untuk menghindari tekanan lingkungan sosial yang mengenalnya. Meski pada akhirnya, hidup di jalanan, menjajakan diri, harus menjadi pilihan.
”Mau dari mana lagi biar bisa hidup waktu itu, kalau enggak ngaleng (menjual diri di jalanan),” kata Ita yang saat ini membuka salon kecantikan di daerah Bukit Kecil, Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Kehidupan di jalanan, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sumatera Selatan Nindi Nopita, dijalani waria antara lain untuk menyambung hidup. Namun, dampak dari kehidupan itu terhadap masa tua mereka terkadang tidak dipikirkan. Berbagai risiko bisa terjadi jika tidak diantisipasi.
Kehidupan di jalanan dijalani waria antara lain untuk menyambung hidup.
”Mereka tidak mungkin terus bekerja di jalanan sampai lanjut usia. Kondisi tubuhnya tentu sudah tidak mendukung. Akibatnya, kondisi ekonomi yang lemah serta berbagai risiko kesehatan terpaksa dijalani di sisa hidup mereka,” ujarnya.
Kondisi itu seperti yang dikisahkan Bety tentang rekannya yang biasa dipanggil Cek Noni. Cek Noni meninggal di usia 52 tahun dengan komplikasi infeksi menular seksual. Hidupnya pun berpindah-pindah, dari satu bilik kontrakan ke kontrakan lainnya sebagai tukang urut. Saat meninggal, teman-teman warialah yang mengurus pemakamannya.
”Dia enggak berani pulang ke rumah. Malu katanya, takut juga dicaci maki karena enggak punya apa-apa,” kata Bety.
Melihat kompleksitas masalah yang dialami waria, PKBI pun mulai berfokus memperhatikan kehidupan waria pada 2014 di sebagian wilayah di Indonesia, salah satunya di Sumatera Selatan. Melalui program peduli, PKBI berharap bisa meningkatkan inklusi sosial bagi kelompok yang paling terpinggirkan di Indonesia, termasuk waria yang kurang mendapat layanan pemerintah dan program perlindungan sosial.
Melihat kompleksitas masalah yang dialami waria, PKBI pun mulai berfokus memperhatikan kehidupan waria pada 2014 di sebagian wilayah di Indonesia.
”Kami berupaya untuk membantu meningkatkan keterampilan dan kapasitas mereka agar bisa mandiri di masa tua. Program peduli ini juga sekaligus mengadvokasi pemerintah untuk mewujudkan ekonomi produktif bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk waria,” kata Nindi.
Dengan dukungan PKBI, terbentuklah komunitas waria di Sumatera Selatan yang akhirnya juga diakui oleh pemerintah daerah setempat, yaitu Organisasi Kemasyarakatan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Ormas MKGR). Anggotanya ada 800 orang dari sekitar 13.000 waria yang ada di Sumatera Selatan.
Bersama-sama melalui komunitas ini, para waria belajar berbagai keterampilan, seperti tata rias, tata boga, dan tata busana. Hasilnya, tidak sedikit yang sudah membuka salon, katering, dan jasa menjahit. Mereka tidak lagi turun ke jalanan.
Penerimaan keluarga
Namun, dari segala keterampilan yang diberikan, bantuan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan pendidikan etika yang baik menjadi hal yang paling berarti untuk para waria. “Stigma masyarakat berangsur-angsur akan luruh kalau kita (waria) punya etika yang baik. Masyarakat akan menerima, terutama keluarga,” ucap Ita.
Bantuan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan pendidikan etika yang baik menjadi hal yang paling berarti untuk para waria.
Kembali ke keluarga adalah hal yang paling berharga bagi mereka. Dari yang semula disisihkan dan tidak dianggap oleh keluarga menjadi diterima kembali menjadi hal yang paling dibutuhkan.
Ita saat ini sudah hidup bersama ibu dan kakaknya. Keluarganya tidak lagi mempermasalahkan kondisi Ita. Melalui usaha kecantikan di salon miliknya, Ita bisa mengumpulkan uang untuk diberikan ke orangtua dan keponakannya.
Begitu pula dengan Bety. Dengan bekerja di usaha katering, dia bisa menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Kondisi biologis dan psikologisnya bisa diterima baik oleh lingkungannya.
”Jangan anggap lagi kami ini sebagai tikus sampah. Jangan pandang sebelah mata. Kami ingin bisa kembali pulang ke rumah dan diterima tanpa diskriminasi,” ujar Bety.