Menerobos Mitos
Art Bali lahir setelah melalui perjalanan melelahkan. Heri Pemad selaku CEO dan pendiri tak hanya harus menerobos tahapan birokrasi berlapis-lapis, tetapi juga gugusan mitos yang ”dibangun” sejak awal tahun 1970-an di kawasan wisata Nusa Dua, Bali. Mitos itu kini seolah membelit dan memberi cap Nusa Dua sebagai kawasan artifisial.
Di kawasan resor yang dikelola oleh ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) terdapat puluhan hotel berbintang lima, di mana para turis bisa menikmati ”Bali’ secara eksklusif. Kawasan ini dibangun berdasarkan studi SCETO, lembaga konsultan pariwisata dari Perancis, yang memberi rekomendasi kawasan resor harus dibuat terpisah dari kawasan permukiman warga.
Dasar pemikirannya, mempertahankan struktur sosio-budaya, termasuk kebiasaan-kebiasaan masyarakat, agar tidak ”tercemar” industri turisme. Oleh sebab itu akan tetap eksotis sebagai tujuan wisata. Industri turisme diyakini akan menjadi masa depan Bali dalam membangun kekuatan ekonomi pascatragedi 1965.
Art Bali dirancang Heri Pemad jauh sebelum pertemuan IMF dan Bank Dunia digelar pada 9 Oktober 2018 di kawasan yang sama.
”Saya memang berencana membuat Art Bali seperti halnya ArtJog di Yogyakarta dan tempatnya saya pilih Nusa Dua,” kata Heri, awal Oktober 2018, di kawasan Bali Collection Nusa Dua.
Sore itu berkumpul seniman Agung Manguputra, Chusin Setiadikara, Kemaledezine, Ketut Moniarta, Yokasara, serta dua kurator Art Bali, Rifky Effendy dan Ignatia Nilu. Mereka didampingi Heri Pemad dan pendiri Art Bali lainnya, I Made Aswino Aji. Perbincangan berlangsung di sisi gedung pameran seluas 1.000 meter persegi yang dibangun semipermanen oleh Heri bersama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
”Tak mudah membangun gedung semipermanen di kawasan ini, banyak sekali aturannya, yang sampai ini berdiri juga belum beres,” kata Heri Pemad. Padahal, promotor seni yang sukses menggelar ArtJog ini ingin agar Art Bali berlanjut terus walau pameran sudah berakhir 9 November 2018.
”Saya ingin Art Bali berlangsung terus di gedung yang sudah kami bangun bersama Bekraf, karena ini sangat strategis dari berbagai hal,” tambahnya.
Karya
Di plaza luar gedung, perupa Pande Ketut Taman ”menugaskan” 12 ”tentara” bersenjata lengkap dan siap tempur untuk berjaga-jaga. Karya yang diberi judul ”Until The End” menjadi peringatan penting sebelum para pengunjung menjejakkan kaki ke selasar menuju pintu masuk gedung. Sengaja atau tidak, karya ini mengingatkan represi pemerintah Orde Baru di masa-masa awal pascatragedi 1965.
Ketika dibangun, kawasan resor Nusa Dua juga tidak bebas dari represi penguasa. Rakyat yang tergusur karena kepentingan pembangunan kawasan menggelar demonstrasi untuk mempertahankan tanah mereka. Sangat mungkin Ketut Taman menciptakan karyanya berdasarkan pengetahuan tentang kisah Nusa Dua sebelum menjadi resor internasional seperti saat ini.
Tak jauh dari sana, sebelum pintu masuk gedung pameran, perupa Adi Panuntun memajang karya ”The Cosmic Tree 2.0”, berbahan fiber, resin, baja (steel), dacron, dan rope (tali). Karya ini kemudian dilengkapi dengan proyeksi video dan audio. Jika malam tiba, proyeksi video menembakkan warna-warna yang membuat karya Adi terasa ”verbal-mistis”. Mungkin idiom ini tepat untuk menggambarkan kawasan Nusa Dua, serta banyak karya yang kemudian dipajang di ruang dalam pameran.
Mistifikasi terhadap Nusa Dua sebagai resor wisata dibangun dengan lapisan birokrasi dan penjagaan yang ketat. Apalagi saat pembukaan pameran Art Bali bertepatan dengan pembukaan pertemuan IMF dan Bank Dunia sehingga banyak calon pengunjung tidak bisa masuk ke area gedung pameran.
Barangkali karya I Wayan Upadana bertajuk ”Manusia Imaji Air dan Cahaya” yang membentuk sosok-sosok manusia sedang berenang atau berendam di tengah air laut menjadi tanda-tanda penting untuk melihat kondisi manusia kini bersama mitos-mitosnya. Ia menerjemahkan tema Beyond The Myths, dengan menyodorkan fragmentasi kehidupan pantai yang eksklusif. Pada suatu masa pantai-pantai di Nusa Dua pernah diklaim sebagai milik hotel-hotel yang ada di dekatnya. Klaim itu menyulitkan warga untuk mengakses pantai dan laut, yang seharusnya memang menjadi ruang publik.
Sindiran Eddi Prabandono lewat karya bertajuk ”Sweat and Luxury” barangkali lebih jauh menggambarkan bagaimana jarak yang tercipta antara ”kawula dan gusti”, rakyat jelata dan para priayi. Eddi menggantung lampu-lampu kristal gemerlapan (biasanya juga terdapat di lobi-lobi hotel mewah) di atas sebuah becak tua. Bisakah kita membayangkan mitos yang kemudian tercipta antara resor Nusa Dua dan warga di sekitarnya?
Meski dua kurator pameran Rifky dan Nilu memaknakan Beyond The Myhts sebagaimana diurai post-strukturalis Roland Barthes, bahwa mitos merupakan suatu sistem komunikasi, suatu narasi dan wacana; tetapi mitos-mitos seputar kawasan Nusa Dua layak menjadi perhatian. Bukan apa-apa, keberanian Heri Pemad dan Aswino Aji membangun pusat ”peradaban” seni kontemporer di wilayah ini akan menjadi diskursus yang tak habis didiskusikan.
”Itu terlalu berani, Nusa Dua itu kawasan artifisial, rasanya kurang pas ada pameran seperti itu,” kata penulis seni asal Perancis, Jean Couteau. Art Bali kemudian harus bersikutat dengan berbagai aturan dan birokrasi yang tak mudah di kawasan itu, sebagaimana sudah dialami Heri Pemad. ”Belum lagi soal siapa publiknya, karena ini kawasan terpisah dari komunitas seni,” kata Jean.
Selain menyodorkan karya-karya yang diharapkan memperlihatkan cara pandang baru terhadap lanskap pergaulan dunia baru, karya-karya 35 seniman dalam Art Bali harus berani berhadapan dengan mitos tentang Nusa Dua tadi. Mereka harus siap ”sementara” ini menjadi penghuni resor eksklusif, yang terpisah dari ”rakyat”.
Jalur transportasi yang mudah dari Bandara Ngurah Rai dan Denpasar menuju kawasan Nusa Dua tak serta-merta membuat Art Bali hidup sebagai pusat pemikiran kebudayaan dan ekspresi seni. Salah-salah ia bisa ”disamakan” dengan fragmen-fragmen seni tradisi Bali yang dipentaskan di hotel-hotel mewah untuk menemani dinner para tamu. Setelah itu para seniman pulang ke kampung masing-masing dengan naik truk. Semoga tidak!