Rusia-AS Kembali Bertarung di Afghanistan
Pertarungan di Afghanistan tidak hanya mempertemukan antara Taliban dan pemerintahan Kabul. Persaingan dan perebutan pengaruh antara dua kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat dan Rusia, membuat keruhnya situasi di negara itu tidak kunjung mengendap. Perbedaan posisi mereka dalam upaya membangun perdamaian justru membawa persoalan baru. Tidak heran jika harapan akan perdamaian di Afghanistan terasa semakin jauh.
Dalam konteks geopolitik, apa yang terjadi di Afghanistan saat ini mirip dengan apa yang terjadi di Suriah, yakni pertarungan Amerika Serikat atau Barat melawan Rusia. Pertarungan itu lebih dalam upaya mencari solusi politik untuk membangun pengaruh.
Jika dalam isu Suriah, ada persaingan forum Geneva yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa serta AS berhadapan dengan forum Astana yang didukung Rusia, Turki, dan Iran. Tidak mengherankan jika dalam isu Afghanistan saat ini ada persaingan pula antara forum formula Moskwa besutan Rusia dan forum dialog Kabul-Taliban yang didukung AS.
Rusia pada Jumat (9/11/2018) menggelar forum formula Moskwa yang ketiga dengan dihadiri delegasi Taliban, pemerintahan Kabul, China, Iran, Pakistan, India, Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan.
Apabila forum Geneva dan Astana sampai saat ini masih gagal menghentikan perang di Suriah, forum formula Moskwa dan forum dialog Kabul/Taliban juga gagal menghentikan perang antara Taliban dan Kabul yang telah berlangsung selama 17 tahun, sejak tahun 2001.
Rusia
Forum formula Moskwa digulirkan sejak tahun lalu, dengan tujuan keinginan Rusia ikut berandil mewujudkan perdamaian di Afghanistan. Rusia menggulirkan forum formula Moskwa itu karena melihat AS dan Barat gagal menemukan formula solusi politik yang dapat menciptakan keamanan dan perdamaian di Afghanistan. Rusia juga semakin cemas menyusul kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) kian kuat dan berkembang di Afghanistan.
Rusia melihat semakin kuatnya NIIS di Afghanistan akan mengancam kepentingan Rusia di Asia Tengah. Meskipun negara-negara Asia Tengah, seperti Tajikistan, Uzbekistan, Kazakhstan dan Turkmenistan sudah merdeka dari Rusia setelah ambruknya Uni Soviet pada 1989, negara-negara tersebut sampai saat ini masih menjalin hubungan istimewa secara politik, ekonomi, dan militer dengan Moskwa.
Bahkan, Moskwa menganggap keamanan Rusia tidak terlepas dari keamanan negara-negara Asia Tengah itu. Bagi Moskwa, ancaman terhadap negara-negara Asia Tengah adalah ancaman juga terhadap Rusia.
Kecemasan Rusia atas NIIS di Afghanistan disampaikan secara terang-terangan oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dalam pembukaan forum formula Moskwa yang ketiga pada pekan lalu.
Lavrov dalam forum itu memberi peringatan keras, jika perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang bertikai di Afghanistan gagal terjembatani, akan membuka ruang bagi teroris untuk menjadikan Afghanistan sebagai area aktivitas garis depan mereka. Menlu Rusia itu menyebut NIIS sedang berusaha menjadikan Afghanistan sebagai pijakan di Asia Tengah.
Akan tetapi, pertemuan forum formula Moskwa yang ketiga itu masih gagal menghentikan kekerasan di Afghanistan. Gagalnya forum formula Moskwa itu disebabkan forum itu tak dapat menjembatani perbedaan pendapat antara Taliban dan pemerintahan Kabul.
Perbedaan
Taliban masih berkeras, perundingan dengan pihak pemerintahan Kabul hanya bisa mencapai kemajuan jika disertai komitmen mundurnya pasukan asing dari Afghanistan.
Menurut Taliban, Afghanistan kini terbelit dua masalah besar. Pertama, faktor eksternal, yakni keberadaan pasukan asing. Kedua, internal, yakni masalah konstitusi, HAM, isu gender, isu narkotika, dan lain-lain.
Taliban menegaskan, harus diselesaikan dulu masalah keberadaan pasukan asing dengan segera. Taliban mendesak mereka hengkang dari Afghanistan. Setelah persoalan pertama selesai, kemudian masuk ke masalah internal.
Adapun pemerintahan Kabul menghendaki sebaliknya, yakni selesaikan dahulu isu internal, kemudian membahas masalah keberadaan pasukan asing.
Gagal
Gagalnya menjembatani perbedaan pendapat antara Taliban dan Kabul itu menyebabkan forum formula Moskwa ataupun forum dialog Taliban-Kabul yang digagas AS hingga kini gagal mewujudkan perdamaian di Afghanistan.
Akibat kegagalan tersebut, aksi kekerasan dan konflik senjata antara Taliban dan pemerintahan Kabul selama Oktober dan November ini justru semakin meningkat.
Pemerintahan Kabul mengakui, sedikitnya 30 anggota polisi tewas dalam baku tembak dengan Taliban di Distrik Farah, Afghanistan barat, yang berbatasan dengan Iran pada Rabu (14/11).
Sehari sebelumnya, Selasa, terjadi baku tembak sengit dekat kota Kabul antara Taliban dan pasukan pemerintah. Sebanyak 12 orang anggota pasukan pemerintah tewas, sementara 5 orang dari pihak Taliban tewas.
Utusan Khusus AS untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad, seperti dikutip harian Al Hayat,mengatakan, pihaknya akan segera mengundang Taliban dan Kabul untuk melakukan perundingan damai lagi.
Khalilzad pada Oktober lalu telah menemui pimpinan Taliban di Doha, Qatar, untuk membahas sejumlah agenda perundingan damai mendatang. Setelah menemui Taliban, Khalilzad juga menemui Presiden Afghanistan Ashraf Ghani.
Para pengamat meramalkan akan ada eskalasi serangan Taliban dalam beberapa pekan dan bulan mendatang. Eskalasi itu ditengarai merupakan bagian dari upaya Taliban memperkuat daya tawar mereka dalam perundingan damai dengan pemerintahan Kabul. Perundingan itu disponsori oleh AS.
Selain itu, eskalasi serangan Taliban tersebut juga diarahkan untuk menggagalkan pemilu presiden yang bakal digelar pada April 2019. Ashraf Ghani sudah menyatakan akan mencalonkan kembali dalam pemilu presiden pada April 2019 itu.
Namun, Khalilzad kini berusaha menunda pemilu presiden tersebut untuk memberi peluang kepada perundingan damai Taliban dan pemerintahan Kabul. Dengan demikian, tercipta kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pemilu presiden.
Menurut laporan Pemerintah AS yang diumumkan pada 31 Oktober lalu, pemerintahan Kabul hanya menguasai 55 persen wilayah Afghanistan dan Taliban mengontrol sekitar 45 persen.
Selama ini, Taliban selalu menolak pemilu parlemen ataupun presiden di Afghanistan, dengan dalih pemerintah dan konstitusi yang ada sekarang adalah tidak sah.
Dalam konteks upaya mencari solusi politik di Afghanistan saat ini, jika Rusia dan AS tidak segera membangun kesepahaman terkait solusi politik tersebut, hadirnya Rusia di negara itu semakin memperumit masalah. Dikhawatirkan akan terjadi persaingan, bahkan saling menjegal, seperti yang terjadi di Suriah.
Persaingan itu akan mudah muncul karena kepentingan utama Rusia dan AS di Afghanistan berbeda.
Kepentingan utama Rusia adalah membendung pengaruh NIIS dan cenderung bekerja sama dengan Taliban untuk melawan NIIS. Sebaliknya, kepentingan utama AS adalah meredam pengaruh Taliban dan membujuk agar kelompok itu bersedia menerima proses politik di Afghanistan. Pasukan AS pun sampai saat ini masih terlibat pertempuran dengan Taliban di berbagai area di Afghanistan.