BANTUL, KOMPAS — Musik jazz mampu membantu orang menembus sekat-sekat perbedaan budaya. Sekat itu dijebol dengan sikap saling memahami guna menjalin harmoni antarsesama melalui aktivitas kesenian. Persahabatan dalam bingkai keberagaman pun turut terbangun dengan sendirinya.
Hal ini mengemuka dalam lokakarya musik jazz bertajuk ”Pengaruh Budaya dalam Musik Jazz” yang digelar di Tembi Rumah Budaya, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (18/11/2018). Pengisi lokakarya tersebut adalah Nita Aartsen (pianis asal Indonesia), Mikele Montolli (pemain bas asal Italia), dan Jean-Sebastien Simonoviez (pemain trompet asal Perancis).
Nita menyatakan, bermain musik memungkinkan terjadinya pertukaran budaya. Hal itu dialaminya secara langsung selama menjalani tur musik dan berkolaborasi dengan musisi dari berbagai belahan dunia. Pengalaman untuk menghargai perbedaan satu sama lain dirasakannya, baik di depan maupun di belakang panggung.
”Lewat musik kita bisa jadi sahabat. Bisa saling belajar budaya lain. Hal ini sangat diakomodasi melalui musik jazz,” ujar Nita saat membuka sesi lokakarya tersebut.
Musik jazz mengajak para pemainnya untuk bercakap-cakap melalui jamming session. Satu pemain membuka percakapan dengan memainkan nada-nada tertentu. Pemain yang lain akan menyahutnya dengan nada-nada lainnya.
”Kita harus mau saling mendengar. Tidak bisa semuanya bicara bersama-sama karena yang terjadi adalah ribut. Dalam jamming session, semua saling mengerti sehingga alunannya terasa selaras,” tutur Nita.
Mikele mengungkapkan, musik merupakan bahasa universal. Hal tersebut membuat seseorang seolah bercakap-cakap dengan orang lain yang saling berbeda bahasa dengannya. Namun, mereka disatukan oleh untaian nada yang dikontrol oleh kemauan untuk saling meredam ego demi menghasilkan komposisi yang harmonis.
”Menurut saya, musik bisa membuat saya berbicara dengan siapa saja. Saya mencoba bercakap-cakap dengan orang lain menggunakan bas sebagai instrumen utama saya,” ujar Mikele.
Dalam lokakarya itu, ketiga musisi yang menjadi pengisi lokakarya menunjukkan bagaimana musik jazz membuat ketiganya terhubung satu sama lain. Mikele membuka komposisi itu dengan betotan basnya. Nita menyusul setelahnya lewat nada-nada kromatis yang ia bunyikan dari tuts pianonya. Kemudian, Simonoviez menambah indah komposisi itu dengan permainan trompetnya.
Ketiganya tampak memahami betul satu sama lain. Ketika salah satu mendapat jatah untuk menampilkan permainan solonya, pemain lain mengiringi dengan apik tanpa menginterupsi. Mereka tampak bagai satu kesatuan. Latar belakang budaya, suku, dan bangsa yang dimiliki melebur dalam permainan mereka.
Nita menyampaikan, komposisi itu telah dimainkan di berbagai tempat. Permainannya tidak pernah sama. Komposisi itu merupakan komposisi yang terbuka dan mengutamakan bagaimana satu sama lain saling merespons permainannya.
”Kami mencoba saling memberikan porsi yang sama. Ini yang harus benar-benar kami jaga. Semuanya saling mendengarkan, semuanya saling menanggapi,” ujar Nita.
Sementara itu, Simonoviez menuturkan, musik jazz itu merupakan milik semua orang. Tidak boleh ada orang yang mengatakan bahwa satu bangsa lebih berkontribusi terhadap perkembangan musik itu daripada yang lain. Sebab, yang terjadi dalam aliran musik itu adalah interaksi dari berbagai aliran musik yang ada sehingga selanjutnya menghasilkan sebuah warna yang beragam dan kompleks.
”Jazz tidak hanya milik Amerika atau Eropa. Ini milik semua orang. Semua orang unik dan bisa berkontribusi terhadap jazz,” kata Simonoviez.