BAB Sembarangan, Isu Besar di Jabodetabek
JAKARTA, KOMPAS — Buang air besar sembarangan dan buruknya kondisi septic tank rupanya masih menjadi masalah sanitasi dan kesehatan untuk kawasan Jabodetabek. Kondisi ini memicu pencemaran air tanah dan air sungai oleh bakteri Escherichia coli yang memicu diare.
Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dicky Alsadik mengatakan, hingga November 2018, jumlah warga DKI Jakarta yang masih buang air besar (BAB) di kali sekitar 4,74 persen atau hampir 500.000 orang dari jumlah total warga DKI Jakarta sekitar 10 juta jiwa.
Lainnya terdiri dari 80,63 persen sudah memiliki jamban sehat permanen, 9,15 persen mempunyai jamban sehat semipermanen, dan menggunakan jamban komunal sebanyak 5,48 persen. BAB terbuka yang dimaksud adalah warga yang BAB di kebun atau sungai hingga warga yang sudah mempunyai toilet atau jamban namun tinja langsung dibuang ke saluran air atau tanpa septic tank sama sekali.
Menurut Dicky, dari 267 kelurahan, sampai saat ini baru 17 kelurahan yang menyatakan bebas BAB sembarangan. Hal ini terjadi karena banyak faktor, mulai warga musiman yang tidak punya tempat tinggal di Jakarta sehingga tak punya akses ke jamban, banyaknya perkampungan padat hingga tingkat kemiskinan yang membuat warga tak mampu membangun jamban atau septic tank sendiri.
”Faktor yang tak kalah besar juga soal perilaku. Ada juga di tempatnya sudah ada jamban komunal, tetapi mereka tetap nyaman BAB terbuka,” katanya.
Kondisi ini diperparah oleh keadaan sebagian besar septic tank warga DKI Jakarta yang belum memenuhi standar sanitasi. Direktur Utama PD Pengolahan Air Limbah Jakarta (PD PAL Jaya) Subekti mengatakan, diperkirakan terdapat 2 juta septic tank di DKI Jakarta, tetapi sekitar 80 persen di antaranya masih berupa septic tank rembesan.
Septic tank rembesan yang dimaksud adalah septic tank yang biasanya hanya dibeton di dindingnya dan dibiarkan terbuka di bagian bawah sehingga limbah tinja sengaja diserapkan ke tanah. Septic tank rembesan ini aman apabila jarak minimalnya dengan sumber air tanah atau sumur minimal 10 meter. Namun, dengan kepadatan permukiman Jakarta sekarang, jarak minimal ini nyaris tak mungkin dipenuhi.
”Bakteri E coli mempunyai jarak tempuh sekitar 3 meter dalam sehari lalu mati. Jadi, kalau 10 meter, sebenarnya aman,” kata Subekti.
Dampak
Akibat kondisi ini, dampaknya adalah tingginya cemaran bakteri E coli di air sungai hingga air tanah di DKI Jakarta. Berdasarkan pemantauan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada awal 2018, dari 267 sampel, 39,7 persen sampel air tanah dangkal telah tercemar oleh bakteri E coli tinja.
”Sampel-sampel diambil dari sumur warga,” kata Kepala Seksi Pemantauan Kualitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Dwi Sari Kurniawati.
Bahkan, di beberapa lokasi, konsentrasi koli tinja jauh lebih tinggi di atas ambang batas baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, yaitu 1.000 per 100 mililiter, di beberapa lokasi konsentrasi koli tinja sangat tinggi.
Di Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, misalnya, ditemukan 700 juta organisme per 100 mililiter, Sukabumi Utara, Jakarta Barat, sebanyak 6,4 juta organisme per 100 mililiter, dan Kebon Bawang sebanyak 4,8 juta organisme per 100 mililiter.
Sementara cemaran bakteri E coli di sungai, saluran air, waduk dan situ pun sudah tinggi sejak hulu. Di hulu Ciliwung di DKI Jakarta di Kelapa Dua, misalnya, sudah mencapai 520.00 organisme per 100 mililiter. Demikian juga di hulu Mookervart di Jalan Daan Mogot sudah mencapai 6,1 juta organisme per 100 mililter.
Dwi mengatakan, sudah tingginya cemaran E coli di hulu sungai yang masuk Jakarta ini menandakan masalah ini tak bisa ditangani sendiri oleh Jakarta, tetapi bersama dengan daerah-daerah di hulu sungai.
Dicky mengatakan, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengimbau warga untuk konsumsi air pipa yang sudah diolah dulu sehingga memenuhi standar air layak konsumsi. Bagi warga yang masih mengonsumsi air tanah, ia merekomendasikan memasak air hingga suhu di atas 70 derajat celsius untuk membunuh kumannya.
Hingga sekarang, 60-65 persen warga DKI Jakarta masih mengonsumsi air tanah. Tentunya sulit mengantisipasi saat sayuran atau buah dicuci dengan air yang bersumber dari tanah. Apalagi di warung-warung yang tak diketahui dari mana sumber air yang digunakan.
Dampak dari tingginya cemaran bakteri E coli di air Jakarta membuat diare terus bertahan dalam 10 besar penyakit warga di Ibu Kota. Menurut laporan profil kesehatan DKI Jakarta yang diunggah di www.depkes.go.id, tahun 2016, terdapat 226.533 kasus diare yang ditangani di pusksemas dan rumah-rumah sakit pemerintah di DKI Jakarta. Begitu juga tahun 2017, terdapat 277.737 kasus diare.
Air yang tercemar bakteri juga bisa mengakibatkan penyakit tifus ataupun hepatitis. Penyakit-penyakit ini tak bisa dianggap remeh. Diare berkepanjangan pada anak balita bisa mengakibatkan stunting (pertumbuhan kerdil) sebab nutrisi tak terserap dengan baik.
Ubah pola pikir
Dicky mengatakan, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta sudah melakukan strategi sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) yang terdiri atas lima pilar. Lima pilar itu adalah stop bab sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan makanan rumah tangga dan sumber airnya, pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga. ”Dinas Kesehatan DKI Jakarta lebih pada perubahan perilaku dan puskesmas untuk layanan pengobatannya,” katanya.
Untuk perubahan perilaku ini, kata Dicky, pihaknya mempunyai ide untuk menginisiasi jamban-jamban warga yang tetap bernuansa terbuka tetapi memiliki septic tank yang memenuhi standari sanitasi.
Ide ini rencananya akan dicoba di Kepulauan Seribu pada 2019. Saat ini pihaknya tengah berkoordinasi lintas sektoral untuk mewujudkannya.
Sementara itu, Subekti menilai jamban komunal tak efektif selama pola pikir warga tak diubah. Sebagai gambaran, PD PAL Jaya pernah membuat jamban komunal di salah satu permukiman padat di bantaran Kali Ciliwung di Jakarta Selatan. Namun, baru tiga bulan, jamban komunal itu sudah rusak. ”Padahal, waktu itu kami sudah meminta komitmen ketua RT/RW untuk menjaganya,” katanya.
Belum timbulnya pola pikir warga untuk turut berkontribusi pada santitasi yang baik juga terlihat dari rendahnya minat untuk sedot tinja ataupun memasang septic tank yang standar.
Dalam rangka ulang tahun PD PAL Jaya pada September lalu, misalnya, PD PAL Jaya memberi layanan sedot tinja gratis untuk 50 pendaftar pertama serta dua septic tank gratis. Meskipun gratis, peminat sangat minim. ”Untuk mengumpulkan 50 orang ini, ternyata butuh waktu delapan hari. Peminat septic tank gratis juga hanya 13 orang yang mendaftar,” katanya.
Subekti lebih merekomendasikan revitalissasi septic tank warga dari sistem rembes menjadi standar. PD PAL Jaya membuka layanan untuk pembangunan IPAL komunal ataupun septic tank tersebut. ”Sudah ada beberapa perusahaan yang menggunakan layanan untuk CSR ini. Namun, sebelumnya perlu pendekatan ke warga, termasuk mendiskusikan dengan mereka di mana lokasi pemasangan,” katanya.
Belum berorientasi sanitasi
Pembangunan DKI Jakarta sebagai kawasan perkotaan dulu tampaknya belum berorientasi sanitasi. Perancangan pembangunan kota belum memperhitungkan pembangunan sistem sanitasi lingkungan. Hal ini terlihat dari masih minimnya sistem sanitasi perpipaan perkotaan di Jakarta.
Hingga saat ini, Jakarta baru mempunyai satu IPAL terpusat di Setiabudi. Kapasitas IPAL Terpusat Setiabudi ini sekitar 42.000 meter kubik per hari atau sekitar 1,1 juta orang per hari. Peruntukannya untuk hotel, hunian, dan perkantoran di sana. Cakupan sistem perpipaan limbah ini baru sekitar 4 persen dari total luas wilayah Jakarta.
Saat ini tengah direncanakan Jakarta Sewerage System yang merupakan proyek strategis nasional. Jakarta Sewerage System membagi Jakarta menjadi 15 zona. Namun, rencana ini masih akan memakan waktu lama untuk terwujud. Diperkirakan, konstruksi baru selesai pada 2025.
Subekti mengatakan, budaya di toilet dan pengolahan limbah menandai tingkat peradaban sebuah kota. Semakin maju peradaban, semakin terencana pula sistem sanitasi dalam rencana pembangunan juga semakin tinggi pula kesadaran warga berpartisipasi menjaga sanitasi lingkungan. ”Kita sedang menuju ke sana,” katanya.