PALEMBANG,KOMPAS--Peneliti Balai Arkeologi Sumatera Selatan menemukan 94 prasasti yang terbuat dari logam yang tersebar di Bangka Barat, Pesisir Timur Sumatera Selatan, dan Muaro Jambi. Prasasti itu diduga ditulis pada zaman Kerajaan Melayu kala dipimpin oleh Adityawarman pada abad 13-14 Masehi. Penemuan prasasti ini membuktikan budaya literasi di kalangan masyarakat akar rumput di Sumatera bagian Selatan telah mengakar sejak abad 13-14.
Ketua Tim Peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan Wahyu Rizky Andhifani, saat sosialisasi hasil penelitian Identitas Aksara dan Bahasa di Sumatera bagian Selatan, Senin (19/11/2018) di Palembang, mengatakan penelitian dimulai pada 2 November 2018. Dalam penelitian itu ditemukan prasasti logam yang tersebar di wilayah Bangka Barat (11 prasasti), Pesisir Timur Sumatera Selatan (3 prasasti), Muaro Jambi (61 prasasti), dan Palembang (19 prasasti).
Prasasti itu ditemukan di Museum Timah Muntok, Bangka Barat; Komunitas Padmasana Jambi; Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi; dan sejumlah kolektor. Berdasarkan keterangan mereka, prasasti tersebut ditemukan di dasar aliran Sungai Batanghari dan Sungai Musi oleh para penambang pasir.
Berdasarkan penelitian sementara, ungkap Wahyu, tulisan yang ada di prasasti itu menggunakan aksara Sumatera Kuno yakni Melayu Kuno, Proto Ulu (masa peralihan aksara Melayu kuno menuju Ulu), dan aksara Ulu. Adapun bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno.
Metode penulisan prasasti tidak sama. Penulisan aksara dalam prasasti yang terbuat dari timah dan emas menggunakan goresan benda tajam, sementara untuk prasasti perunggu menggunakan titik-titik yang kemudian membentuk aksara.
Temuan itu, lanjut Wahyu, juga menangkis catatan zaman kolonial Belanda yang menyatakan bahwa timah baru ditemukan pada abad 17. “Padahal timah sudah digunakan masyarakat pada abad ke-14, bahkan kemungkinan juga digunakan pada masa Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-8-10,” kata dia.
Adapun pesan dari tulisan tersebut sebagian besar berisikan mantra. Dugaan awal, mantra tersebut dituliskan oleh dukun untuk keselamatan warga dalam menjalankan pekerjaannya. Sebaliknya, tulisan ini juga kemungkinan ditulis oleh warga berdasarkan petuah para biksu. “Untuk kepastiannya, kami masih melakukan pengkajian lanjutan,” ucapnya.
Jadi bandul pancing
Maraknya temuan prasasti logam mulai terjadi sejak dua tahun lalu tepatnya saat bencana kebakaran lahan terjadi di pesisir timur Sumatera Selatan. “Saat itu, banyak warga yang menemukan prasasti logam. Namun prasasti hanya dilebur untuk dijadikan bandul pancing atau dijual dengan harga murah,” kata Wahyu.
Anggota Tim Peneliti Retno Purwanti menerangkan, sebenarnya masih banyak prasasti yang bisa ditemukan andai saja masyarakat mau melestarikannya. “Saat ini, banyak warga yang masih melihat benda bersejarah dari nilai rupiahnya saja,” katanya.
Retno memberi contoh prasasti yang berada di Museum Timah dijual oleh warga Rp 30 juta per prasasti. Bahkan, ada yang tidak tahu nilai prasasti itu dan akhirnya hanya diberikan cuma-cuma. “Padahal, jika dirawat dan dilestarikan, prasasti itu bisa membentuk sebuah kerangka sejarah yang memberikan pengetahuan bagi kita,” katanya.
Dosen Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Ninie Susanti menerangkan, penemuan ini menandakan bahwa, prasasti tidak selamanya berasal dari batu melainkan bisa dari beragam media tulis. Salah satunya adalah dari logam. Prasasti timah itu adalah temuan pertama di Indonesia.
Literasi merata
Ninie memperkirakan, prasasti logam terutama timah banyak digunakan oleh masyarakat saat itu karena melimpahnya sumber daya timah di wilayah Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel). Prasasti timah menandakan bahwa literasi masyarakat Sumbagsel sudah cukup mapan saat itu. “Kemampuan literasi di Sumatera bagian Selatan kala itu jauh lebih merata dibanding masyarakat di Jawa,” katanya.
Hal itu dipengaruhi oleh pola pemerintahan kerajaan di Sumatera yang berbeda dengan kerajaan di Jawa. Pola pemerintahan Kerajaan Sriwijaya hingga Kerajaan Melayu menggunakan pola kedatuan. Setiap daerah memiliki otonomi sendiri. Kondisi ini berpengaruh pada kemampuan literasi yang lebih merata baik di masyarakat maupun kaum petinggi kerajaan saat itu.
Berbeda dengan kerajaan-kerajaan di di Jawa, budaya literasi lebih kental di lingkungan kerajaan. Kemampuan menulis hanya dimiliki sang juru tulis (citralekha).
Hal ini juga tampak dari isi prasasti yang ditemukan di Jawa. Prasasti di Jawa lebih mengarah pada maklumat kerajaan, penanda daerah kekuasaan, aturan peradilan, pelunasan hutang, dan ajaran keagamaan. Adapun di Sumbagsel prasasti yang ditulis lebih beragam, mulai dari keamanan kerajaan, mantra hingga cara untuk menjalani hidup.
Bahkan di Sumbagsel, ditemukan prasasti yang bertuliskan cara merawat anak kembar dan menanam pohon sialang. Ini menandakan masyarakat di akar rumput juga memiliki kemampuan untuk menulis.
Aksara Pallawa
Lebih lanjut Ninie menjelaskan, aksara di Nusantara berakar dari aksara Pallawa pada periode Hindu-Buddha. Aksara yang sama juga digunakan di kerajaan Kamboja dan Thailand, hanya saja bahasa yang digunakan berbeda. “Kalau Kerajaan Khmer di Kamboja menggunakan bahasa Khmer Kuno, dan Kerajaan Thailand menggunakan bahasa Thai Kuno,” ucapnya. Sementara di Nusantara aksara Pallawa ditemukan dalam bahasa Sanskerta.
Aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta terlihat dari prasasti tertua abad 4 yakni tujuh Prasasti Yupa di Kalimantan Timur dan berakhir di Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi. Aksara Pallawa menyebar ke kawasan Asia Tenggara diduga karena aktivitas perdagangan. Aksara masuk ke Nusantara karena perdagangan di jalur rempah.
Setelah itu, aksara berkembang dan muncul beberapa aksara baru seperti Jawa Kuno, Bali Kuno, Sumatera Kuno, dan Sunda Kuno.
Berakhirnya periode Hindu-Buddha ditandai dengan menguatnya aksara daerah seperti aksara Jawa, aksara Ulu (Sumatera bagian Selatan), aksara Batak, aksara Lontara (Bugis), aksara Jangang-Jangang (Makassar), dan aksara Mbojo (Bima). “Ini menandakan saat itu, aksara dan bahasa sudah menunjukan identitas sebuah daerah,” kata Ninie.
Kepala Balai Arkeologi Sumsel Budi Wiyana mengatakan, hasil penemuan itu adalah satu dari delapan penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Sumsel sepanjang tahun 2018. Selain prasasti logam, juga ditemukan sejumlah benda bersejarah seperti bagian kapal yang diduga berasal dari zaman pra Sriwijaya di abad ke II. “Ini akan menjadi data untuk melanjutkan penelitian ke depan,” ungkap Budi.