Darurat Sanitasi, Baru Satu Kelurahan di Jakarta Utara Tanpa BABS
Jakarta darurat sanitasi. Ketersediaan fasilitas sanitasi perpipaan dan pengolahan secara komunal masih amat minim. Ini tidak terjadi nyaris merata di seluruh Ibu Kota.
Dari 31 kelurahan di Jakarta Utara, baru satu kelurahan yang dinyatakan bebas dari perilaku buang air besar sembarangan atau BABS, yaitu Kelurahan Kelapa Gading Timur, Kecamatan Kelapa Gading. Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara menargetkan semua kelurahan sudah bebas dari BABS pada 2021.
Kepala Sudinkes Jakarta Utara Muhammad Helmi menuturkan, target tidak akan tercapai jika hanya sektor kesehatan yang bekerja karena terdapat pekerjaan-pekerjaan di luar wewenang Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
”Hasil pendataan kami sampaikan kepada Pak Wali Kota (Wali Kota Jakarta Utara Syamsudin Lologau) lalu ke UKPD (Unit Kerja Perangkat Daerah) terkait bahwa ini menjadi pekerjaan bersama. Untuk pekerjaan fisik, misalnya, itu bukan di kesehatan,” ujar Helmi di Jakarta Utara, Kamis (15/11/2018).
Di Kelapa Gading Timur, sebanyak 21 RW sudah dinyatakan bebas dari perilaku BABS atau open defecation free (ODF). PD PAL Jaya membantu memberikan tiga instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal, khususnya di RW 004. Sudinkes Jakarta Utara dibantu lurah, perangkat RT dan RW, serta kader kesehatan di kalangan warga sudah mengidentifikasi kondisi dan jumlah warga dengan perilaku BABS di setiap kelurahan.
Dari hasil itu, Sudinkes menentukan kelurahan prioritas yang bakal mendeklarasikan diri bebas dari BABS. Saat ini, Sudinkes membidik enam kelurahan untuk menyusul Kelapa Gading Timur, yaitu Pluit, Semper Timur, Pademangan Barat, Kelapa Gading Barat, dan Sunter Agung.
Namun, yang juga penting selain bekerja sama dengan UKPD terkait adalah menggerakkan kemandirian masyarakat, lewat strategi sanitasi total berbasis masyarakat (STBM). Selain itu, Sudinkes Jakarta Utara berupaya menggandeng perusahaan untuk pembiayaan melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Helmi mengatakan, masih ada pekerjaan rumah untuk menurunkan jumlah warga yang berperilaku tidak sehat di Jakarta Utara, yaitu sebanyak 10 persen dari total penduduk. Salah satu perilaku itu adalah BABS, contohnya di Kelurahan Pademangan Barat masih ada 600 keluarga yang terbiasa BABS.
”Namun, jumlah warga dengan perilaku tidak sehat sekarang sudah lebih rendah,” ujar Helmi. Awal 2017, ada 17 persen warga dengan perilaku hidup tidak sehat.
Selain deklarasi ODF tingkat kelurahan, terdapat deklarasi di tingkat RW. RW 004 Semper Barat di Kecamatan Cilincing sudah mendeklarasikan diri ODF pada 2016 setelah lolos uji verifikasi ODF. Yayasan sosial kemanusiaan Wahana Visi Indonesia melakukan pendampingan di Kelurahan Semper Barat untuk penerapan STBM, berkontribusi pada penurunan prevalensi diare di wilayah intervensi dari 10,6 persen pada 2013 menjadi 6,1 persen pada 2015.
Seorang warga RT 016 RW 004 Semper Barat, Hanifah (45), mengatakan, perilaku buang air besar sembarangan di area tempat tinggalnya mulai berkurang sejak PT Kawasan Berikat Nusantara membantu pendirian fasilitas mandi cuci kakus (MCK) umum tahun 2005. Salah satu fasilitas itu berlokasi di RT 016.
Sebelum adanya fasilitas MCK umum, warga buang hajat di rawa-rawa, atau di semak-semak, rerumputan, dan dekat pohon-pohon. ”Dulu ada yang membuat jamban, tetapi ya sama saja, pembuangannya masuk ke selokan yang kemudian mengalir ke kali,” ujar Hanifah.
Ia yang berasal dari Kemayoran, Jakarta Pusat, itu tinggal di sana sejak tahun 1999 karena menikah dengan warga setempat. Hanifah mengakui, suaminya dulu juga berperilaku buang air sembarangan mengingat rumah mereka belum memiliki kakus yang dilengkapi tangki septik. Namun, ia tidak berperilaku sama. ”Saya merasa jijik karena tidak biasa seperti itu. Jadi, saya menumpang ke jamban di rumah tetangga atau pergi ke MCK umum di RT 008,” katanya.
RT 016 RW 004 Semper Barat merupakan kawasan permukiman padat dengan akses jalan selebar 1-1,5 meter. Mereka terbilang tinggal di wilayah abu-abu karena merupakan lahan untuk saluran udara gangan ekstra tinggi. Menara SUTET berdiri di antara rumah warga.
Kebanyakan rumah sudah menggunakan dinding bata, batako, atau hebel. Namun, lantai kedua rumah mayoritas berbahan kayu dan tripleks. Lantai dua dibuat biasanya untuk evakuasi ketika terjadi banjir. Menurut Hanifah, banjir besar terakhir, yaitu tahun 2007, yang ketinggian airnya lebih dari 1,5 meter.
Hanifah menambahkan, kasus penyakit diare, terutama pada anak-anak, lebih banyak ketika perilaku buang air besar sembarangan masih jamak. Kini, dari 150 tempat tinggal yang dihuni total lebih dari 1.000 jiwa, 80 persennya sudah memiliki jamban masing-masing.
Meski kebanyakan rumah di RT 016 sudah dilengkapi dengan jamban, fasilitas MCK umum yang dulu dibangun KBN masih bertahan dan dirawat oleh seorang warga, Asiah (55). Fasilitas terdiri dari enam ruang, masing-masing berukuran 1 meter kali 1 meter.
Sejak fasilitas berdiri tahun 2005, Asiah menarik biaya Rp 2.000 dari setiap orang yang menggunakan fasilitas itu. Harga sama baik untuk buang air kecil, buang air besar, bahkan mandi. Dari uang yang dikumpulkan itu, Asiah bisa berbelanja peralatan dan bahan pembersih fasilitas MCK setiap bulan. ”Orang yang menggunakannya senang karena bersih dan terawat,” ujarnya.
Awal berdiri, fasilitas MCK yang dikelola Asiah ramai konsumen. Selain warga RT 016, ada pula warga dari RT 008, RT 009, RT 011, dan RT 015. Maklum, waktu itu fasilitas MCK amat minim. Kini, pengguna terus berkurang seiring peningkatan kepemilikan jamban di rumah masing-masing.
Kondisi itu berdampak pada pendapatan Asiah dari fasilitas MCK. Awalnya, ia rata-rata bisa mendapat Rp 30.000 per hari dan sekarang menjadi Rp 10.000 per hari. Namun, Asiah berkomitmen untuk terus mengelola fasilitas itu. ”Sekarang yang biasanya pakai MCK itu pedagang keliling,” katanya.
Ketua RW 004 Semper Barat Muhammad Roji (59) mengatakan, bukan berarti perilaku buang air besar sembarangan sudah tidak ditemukan lagi. Biasanya, yang masih buang air sembarangan adalah anak-anak.
Namun, menurut Roji, perilaku itu sudah terkendali. Saat ini, warga dengan perilaku buang air besar sembarangan sekitar 5 persen, sedangkan hingga tahun 2010 ada 30 persen.
Salah satu pendorong warga berbondong-bondong berperilaku lebih baik adalah keaktifan ibu-ibu yang menjadi kader kesehatan. Roji menuturkan, ada 20 ibu-ibu yang tergabung sebagai kader pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) sekaligus sebagai kader juru pemantau jentik nyamuk (jumantik). Mereka berkeliling dua kali sepekan di RW 004, memeriksa jika ada jentik nyamuk sekaligus mengingatkan warga yang masih buang air sembarangan.
Para kader pun rajin menyosialisasikan bahaya perilaku BABS terhadap kesehatan masyarakat. ”Mereka juga menyosialisasikan agar popok bayi dibersihkan dulu dari kotoran sebelum dibuang,” kata Roji.