Jakarta, Sang Ratu dan Kuburan
Sejarah mencatat malaria sempat merebak dalam tembok Batavia di tahun 1733 dan merenggut 2.000 nyawa orang Eropa yang tinggal di dalamnya. Dampak kejadian akibat kesalahan desain kota itu diikuti dengan kegagalan rancangan berikutnya yang makin mengorbankan penduduk lokal.
Prathiwi W. Putri dalam artikel berjudul “Moulding Citizenship: Urban Water and the (Dis)appearing Kampungs” menjelaskan faktor signifikan peristiwa itu adalah pendekatan teknis yang dilakukan untuk menjinakkan tanah rawa Batavia. Sungai-sungai diluruskan dan dibatasi dinding beton. Kanal-kanal baru dibangun dan tanah galiannya dipergunakan sebagai pondasi bangunan. Batavia diperlakukan sama seperti Amsterdam dan sejarah telah mengajarkan bahwa perlakuan itu sesungguhnya salah serta tidak patut.
Artikel yang dimuat dalam buku “Urban Water Trajectories” dengan editor Sarah Bell, Adriana Allen, Pascale Hofmann, dan Tse-Hui Teh (2017) itu juga memaparkan tidak berfungsinya kanal-kanal tersebut. Wilayah kota kerap tergenang menyusul curah hujan yang tinggi dan lumpur tebal yang dibawa sungai dari wilayah lebih tinggi.
Kisah itu berlanjut dengan dampak lebih memilukan bagi penduduk lokal. Dalam artikel tersebut, Putri menjelaskan tentang penyakit kolera dan jumlah warga miskin cenderung meningkat di sejumlah perkampungan seiring dengan penurunan luas lahan untuk pertanian dan perikanan warga yang menghancurkan ekosistem komunitas di wilayah kampung-kampung di Batavia.
Hal ini menyusul terusirnya banyak warga kampung di kawasan Weltevreden , atau kawasan Senen dan sekitarnya sekarang, sebagai akibat pindahnya orang-orang Eropa dari dalam kawasan Tembok Batavia. Wilayah perkampungan tersisa, selain menampung kaum terusir dari perkampungan sekitar Weltvreden, juga menerima pendatang dari pedesaan di luar Batavia. Hal ini menyusul penyitaan lahan-lahan pertanian warga di seluruh Pulau Jawa untuk dimanfaatkan sebagai perkebunan dengan komoditas ekspor. (Putri, 2017).
Kepala Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua Norviadi S Husodo, Rabu, (14/11/2018) mengatakan, bekas-bekas tembok kota Batavia masih ada di sebagian kawasan Kota Tua, Jakarta. Salah satunya seperti yang ada di belakang kawasan Museum Bahari.
Pemisahan Sosial
Putri (2017) menyebutkan bahwa pada dekade pertama abad ke-20, insinyur Belanda bernama Van Breen mengembangkan jaringan sungai dan kanal di Batavia yang terintegrasi. Infrastruktur ini menguntungkan bagi mereka yang berada di tengah kota, namun pada saat bersamaan mengalihkan air kotor dan aliran banjir ke lokasi yang lebih rendah dan terutama membawa malapetaka bagi kampung-kampung di wilayah tersebut.
Segregasi sosial antarkelompok masyarakat diciptakan lewat infrastruktur ini. Terkait fungsi mengalirkan air kotor, dimana tinja termasuk di dalamnya, jaringan air ini didesain untuk melakukan fungsi tersebut pada musim kering, setelah menjalankan fungsi untuk melindungi bagian dalam kota dari banjir tatkala musim penghujan.
Hal tersebut dilakukan di tengah pemahaman bahwa persebaran penyakit terjadi lewat udara yang terkontaminasi bibit penyakit (teori miasma), alih-alih menghubungkan kesehatan tubuh dengan konsumsi air bersih yang terstandardisasi. Freek Colombijn & Joost Coté (eds, 2015) dalam buku berjudul “Cars, Conduits, and Kampongs: The Modernization of the Indonesian City, 1920–1960,” menyebutkan bahwa kesadaran mengenai adanya hubungan antara ruang perkotaan yang sehat dengan, penduduk, dan suplai air baru terjadi di pertengahan tahun 1800an.
Pada abad ke-19, praktik membuang kotoran manusia ke tanah dan atau melemparnya ke saluran air terbuka dianggap sebagai tindakan tepat. Diasumsikan bahwa tanah akan menghancurkan patogen apapun, sementara arus air deras dianggap akan mencairkan kotoran dan membasuhnya jauh dari lokasi. Baru di abad ke-20, praktik itu disadari tidak ramah lingkungan dan kotoran manusia serta limbah domestik mulai dianggap sebagai persoalan serius. (Putri, 2017).
Tidak mengherankan jika sebelum abad ke-20, Batavia berulangkali diserang wabah penyakit. Leonard Blussé yang menulis buku berjudul “Visible Cities: Canton, Nagasaki and Batavia and The Coming of The Americans (2008) menulis tentang kerusakan lingkungan di masa itu.
Pada akhir abad ke-19, satu dari tiga orang penduduk meninggal dunia setiap tahunnya setelah terkena penyakit tropis atau wabah musiman. Atau dengan kata lain, seluruh penduduk kota meninggal setiap tiga tahun sekali, jika diasumsikan pada dua tahun lainnya tidak seorangpun penduduk meninggal dunia.
Hal ini, memaksa penduduk untuk melakukan evakuasi. Blussé juga menulis, saat penjelajah asal Inggris James Cook tiba di Batavia guna memperbaiki kapal dalam periode pelayarannya untuk menjelajahi benua, salah seorang anak buahnya mengatakan tentang kota yang dipenuhi rumah-rumah kosong. Juga kebun-kebun yang dipenuhi gulma. Ia beranggapan bahwa kondisi Batavia yang tidak sehat itu akan menahan keinginan bangsa-bangsa lain untuk melakukan serangan.
Tanpa Toilet
Hal itu terkonfirmasi dari sejumlah artefak sejarah yang kini masih berdiri di Jakarta. Candrian Attahiyat dari Tim Ahli Cagar Budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Selasa (13/11/2018) mengatakan, bangunan-bangunan yang didirikan di Jakarta pada abad ke-17 dan abad ke-18 diketahui tidak memiliki ruangan khusus untuk fungsi toilet dan atau kamar mandi.
Sebagian di antaranya seperti gedung yang kini difungsikan sebagai Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta) dan Museum Bahari di kawasan Kota Tua, Jakarta. Sebagai gantinya, imbuh Candrian, orang-orang Belanda yang menggunakan bangunan-bangunan tersebut memakai wadah semacam ember atau pispot untuk membuang hajat.
“Setiap jam 10 malam (22.00 WIB), (kotoran manusia dalam wadah) dibuang ke Kali Besar (Sungai Ciliwung di sisi selatan Batavia),” kata Candrian.
Hal ini merujuk pada aturan bahwa sebelum pukul 22.00 WIB, aliran air Kali Besar dipergunakan orang-orang untuk kebutuhan minum, masak, dan mencuci. Kebiasaan itu, imbuh Candrian, relatif berlaku sama pada orang-orang di sejumlah bangunan lain.
Candrian menambahkan, adapun terkait ketiadaan kamar mandi, hal ini menyusul tidak dikenalnya kebiasaan mandi setiap hari oleh sebagian besar orang Eropa, dimana Belanda termasuk di dalamnya. Menurut Candrian, hal ini relatif berbeda dengan kebiasaan sebagian besar orang Indonesia yang cenderung mandi dua kali sehari menyusul kondisi cuaca serta kebutuhan sebagian orang untuk memenuhi tuntunan agama Islam mengenai konsep “bersih dan suci,” atau terbebas dari hadas.
Candrian mengatakan, konsep kamar mandi bagi pengguna bangunan Belanda baru muncul di sekitar abad ke-19. Hal ini seiring pemahaman baru tentang konsep sanitasi. Pada abad ke-20, arus modernisasi juga turut mengubah desain arsitektur dengan memasukkan fungsi toilet ke dalam bangunan.
Hal menarik yang diingat Candrian adalah posisi dan fungsi toilet di sebuah rumah. Ia mengatakan, rumah-rumah Belanda yang berada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, mengadopsi pola peletakan ruang toilet di pekarangan rumah. Pemisahan tegas dilakukan antara fungsi rumah tinggal dengan toilet sebagai tempat untuk membuang kotoran manusia.
Menurut Candrian, konsep tersebut berasal dari khazanah kebudayaan Nusantara. Ia mencontohkan, konsep tersebut lazim diterapkan pada rumah-rumah yang berada di sebagian Pulau Jawa.
Ia menambahkan, setidaknya ada dua hal yang melatarbekalangi praktik tersebut. Pertama, rumah ditempati secara komunal dan cenderung tidak hanya dihuni keluarga inti. Kedua, secara filosofis kotoran manusia dianggap kotor dan cenderung menjijikan sehingga tidak selayaknya dicampur bersama tempat tinggal.
Konsep tersebut bergeser, karena tidak benar-benar berubah, seiring dengan derasnya arus urbanisasi ke Jakarta sejak tahun 1960an. Orang-orang yang tidak memiliki rumah lantas tinggal di sejumlah kawasan seperti bantaran kali dan dekat rel kereta api.
Kebutuhan kakus yang tidak bisa ditunda membuat keberadaan “WC helikopter” cenderung tidak terhindarkan. Ini merupakan struktur sederhana dari kayu atau bambu di pinggir sungai dengan bilik seadanya.
Hal serupa terjadi pada sebagian rel kereta api yang dijadikan tempat buang air besar. “Ceboknya tidak disitu (lokasi buang air besar), tapi di rumah,” sebut Candrian.
Ia menambahkan, dalam hal ini yang sesungguhnya terjadi cenderung serupa dengan pemahaman bahwa toilet sebagai tempat buang air besar harus berada di luar rumah. Hanya saja mereka mesti menghadapi fakta, bahwa tidak ada lagi lahan tersisa untuk memraktikkan pemahaman itu sebagaimana mestinya.
Sejak Awal
Abeyasekere (1987 dalam Freek Colombijn & Joost Coté (eds, 2015) menulis, problem air perkotaan dan wabah penyakit dari kota yang tidak sehat telah melanda Batavia sejak didirikan pada 1619. Tingginya angka kematian penduduk pada tahun 1700an telah menurunkan predikat Batavia dari “Queen of the East” menjadi “Graveyard of the East.” Hal ini terkait dengan penyakit-penyakit yang mewabah karena terbawa air. Sementara Blussé (2008) menggunakan istilah “Cemetery of the East” yang lebih lekat bagi sebutan Batavia di akhir abad ke-19 ketimbang “Queen of the East.”
Hal ini seperti ironi dari kisah “penaklukan” J.P. Coen atas Batavia (saat itu bernama Jacatra atau Jayakarta) pada 28 Mei 1619. Coen, sebagaimana ditulis J.J. van Klaveren (1953) dalam buku berjudul “The Dutch Colonial System in the East Indies,” melakukan pembakaran dan perusakan kampung untuk memberikan kesan dirinya sebagai seorang penakluk.
Coen, dengan demikian menyatakan VOC berdaulat atas bagian barat Pulau Jawa. Batas-batasnya berada di antara Sungai Cisadane di sisi barat dan Sungai Citarum di bagian timur serta membentang ke selatan menuju Lautan Hindia. Kawasan ini dianggapnya sebagai Kerajaan Jacatra. Meskipun pada saat itu, warga Jacatra (atau Jayakarta) tidak menginginkan peperangan, melainkan kesepakatan baru. Salah satunya menyusul friksi dengan pangeran (Jayakarta) terkait pembayaran bea masuk.
Perebutan wilayah kekuasaan yang semata-semata dilakukan untuk kepentingan ekonomi menjadi jiwa pembentukan Batavia pada masa-masa awalnya. Sementara kepentingan rakyat kebanyakan, hal itu tidaklah menjadi kepedulian.