Buang hajat di Sungai Cisadane masih menjadi hal yang biasa bagi kebanyakan warga yang menetap di pinggiran rel kereta sekitar area Tempat Pemakaman Umum Kavling Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Sumber air bersih yang tidak terdistribusi ke rumah-rumah warga menjadi alasan utama mereka tetap buang hajat di sungai.
”Saya mandi di pinggiran sungai karena di tempat ini ada sumber air yang berasal dari tanah yang terus mengalir sampai sekarang. Agar lebih mudah dan tidak perlu angkat air jauh, beberapa warga bahkan buang air (buang hajat) di sungai karena dekat dengan sumber air tersebut,” kata Haryati (50), salah satu warga perkampungan yang hanya terdiri dari belasan rumah ini, Rabu (14/11/2018).
Untuk menuju ke sumber air, Haryati harus berjalan kaki melalui pinggiran sungai yang terjal dan berbatu. Jalan tersebut adalah satu-satunya akses terdekat menuju mata air yang selama ini menjadi sumber air bersih bagi Haryati dan warga lainnya. Warga harus melewati jalan yang terjal dan licin tersebut karena tidak memiliki pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan terhadap air bersih. Kondisi ini semakin sulit ketika hujan turun karena jalan tersebut didominasi oleh tanah merah yang akan menjadi sangat licin ketika basah.
Sumber mata air tanah tersebut dialirkan melalui pipa seadanya untuk kemudian ditampung dalam ember. Cara ini dipilih oleh warga untuk mempermudah jika ada warga yang hendak mandi atau mencuci di sumber air tersebut. Menurut keterangan warga, sumber air tersebut sudah ada sejak pembangunan jembatan rel kereta api dimulai empat tahun yang lalu.
Di samping pipa air yang mengalir, masih ada pipa air yang sudah tidak dialiri air dengan bak semen di bawahnya. Sebelumnya, warga menggunakan sumber air ini, tetapi karena telah kering, warga memanfaatkan sumber mata air lain.
Tempat warga mandi dan mencuci ini telah dilantai warga menggunakan semen. Saat mereka mandi atau mencuci, limbah airnya juga langsung mengalir ke sungai.
Untuk buang air, warga juga masih memanfaatkan aliran sungai. Mereka mengangkat air hanya belasan meter dari sumber mata air lalu ke pinggir sungai untuk buang air dan bercebok. Jauh menghemat tenaga dibandingkan harus buang air di kaskus rumah masing-masing.
Warga perkampungan sebagian besar telah memiliki kaskus tetapi tidak bisa digunakan secara maksimal. Pasalnya, untuk mengambil air bersih perlu mengangkat air dari sumber mata air.
”Saya di rumah sudah punya kakus. Tetapi karena capek angkat air, jadi lebih baik langsung mandi, buang air, dan mencuci di dekat sumber mata air,” kata Sukardi (53).
Selain di bawah jembatan, ada pula sumber air bersih dari belakang perkampungan. Tetapi untuk mengaksesnya, butuh melewati jalan licin dan menurun juga. Sumber mata air ini berupa sungai kecil yang dijaga kebersihannya oleh warga tetapi jarang digunakan.
Selain sumber air alami, warga juga mengambil air bersih di Tempat Pemakaman Umum Kavling Serpong. Namun, ke tempat ini warga juga harus menyeberang rel kereta terlebih dahulu dan sedikit mendaki.
Beberapa warga telah memiliki sumur galian di halaman rumahnya. Sayangnya, sumur ini seringkali kering sehingga membuat warga harus tetap menggunakan sumber mata air lain. Air sumur juga dirasa tidak sebersih air dari mata air yang terletak di bibir Sungai Cisadane. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)