Hampir dua tahun di tangan panitia kerja, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih saja berkutat pada rapat dengar pendapat umum. Masyarakat menanti terbitnya undang-undang itu.
JAKARTA, KOMPAS— Kejahatan dan kekerasan seksual yang terus marak terjadi di tengah masyarakat, termasuk vonis penjara enam bulan dan denda Rp 500 juta yang baru-baru ini dialami Baiq Nuril -- mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat -- seharusnya semakin mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang.
Kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak untuk melindungi para korban kejahatan seksual dan mencegah semakin banyak korban kejahatan seksual di tengah masyarakat.
Harapan ini disampaikan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) bersama Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Indonesian Feminist Lawyer Club (IFLC), dan Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (NU), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), Minggu (18/11/2018) di kantor Kowani Jakarta.
"Tahun 2019 adalah tahun terakhir periode DPR saat ini. Bulan April 2019 sudah memasuki masa Pemilu Legislatif untuk memilih anggota DPR baru. Jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak juga maju dalam pembahasan tahun ini, maka bisa dipastikan RUU tersebut gagal disahkan dan artinya memulai kembali dari nol di DPR baru," ujar Koordinator JKP3 Ratna Batara Munti yang didampingi Nur Alam prawiranegara (IFLC) Poppy Haryono (Kowani), Valentina Sagala (JKP3), dan Wahidah Syuaib (PP Fatayat NU).
Karena itu memasukiMasa Persidangan II Tahun Sidang 2018-2019 DPR yang dimulai pada pekan ini, mereka berharap DPR segera melanjutkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebab, sejak ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Februari 2017, sampai hari ini proses RUU tersebut dinilai belum ada kemajuan berarti. Hampir dua tahun berjalan, Panitia Kerja (Panja) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR berjalan, tetapi prosesnya masih berkutat pada rapat dengar pendapat umum. Itu pun baru lima kali, dan pembahasan dengan pemerintah belum dilakukan.
"Karena itulah, kami gerakan perempuan masyarakat sipil sangat berharap di tengah waktu yang mepet yang masuk 2019, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang selama ini sering disebut-sebut sebagai salah satu komitmen DPR dan pemerintah itu sungguh-sungguh mendapat perhatian penuh, dengan pembahasan dan pengesahan di 2019," ujar Valentina dan Wahidah.
DPR juga diminta mengedepankan perspektif korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, karena kenyataan di lapangan perempuan korban kekerasan seksual tidak mendapat keadilan, karena hingga kini belum ada undang-undang yang mengatur kekerasan seksual.
Amnesti kepada presiden
Hingga Minggu malam pukul 22.00, dukungan masyarakat terhadap Baiq Nuril yang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung terus mengalir. Jumlah masyarakat yang meminta Presiden memberikan amnesti kepada Nuril melalui petisi change.org/amnestiuntuknuril mencapai 37.000 orang.
Putusan ini dinilai melanggar rasa keadilan dalam masyarakat karena Baiq Nuril adalah korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelapor tindak pidana tersebut. Hari ini, Senin (19/11/2018), Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril, berencana memberikan petisi dan surat kepada Presiden sebagai bahan pertimbangan Pemberian Amnesti kepada Ibu Nuril. (son)