Menantang Diri dalam Harmoni
Borobudur Marathon 2018 menantang sepuluh ribuan pelari menjadi lebih baik. Penerapan aturan lebih ketat tak semata demi peningkatan kualitas, tetapi juga wujud keselarasan dengan alam dan warga.
Aprilia Suhartiningsih (30) melangkah pelan memasuki Kilometer (Km) 21,1 lomba lari Borobudur Marathon Powered by Bank Jateng di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018) pagi.
Bersama dua pelari lain, ia dihentikan panitia dan tak diizinkan melanjutkan lomba kategori 42,195 kilometer dan harus dievakuasi. Mereka gagal memenuhi ketentuan cut off points (COP) atau batas waktu minimal di jarak tertentu.
Pada kategori maraton ada dua COP, yakni Km 21,1 yang harus dicapai empat jam setelah start, serta Km 35 yang mesti dicapai sebelum enam jam. COP juga diterapkan di kategori half marathon, Km 15 yang mesti dicapai maksimal tiga jam.
Meski dilarang melanjutkan lomba, Aprilia menerimanya. ”Saya kurang latihan. Saya sadar ini kekurangan saya sendiri,” ujar pelari asal Yogyakarta itu.
Bagi dia, aturan COP—yang baru diberlakukan di Borobudur Marathon tahun ini—punya tujuan baik, yakni menantang pelari agar mencapai hasil maksimal.
Namun, agar bisa memenuhi aturan, para pelari harus berlatih lebih baik. ”Tahun depan saya akan ikut lagi, tapi sebelumnya saya mau latihan lebih baik,” ujar pelari yang baru pertama kali mengikuti maraton itu.
Selain COP, Borobudur Marathon 2018 juga memberlakukan cut off times (COT) atau batas waktu maksimal peserta menyelesaikan lomba. COT untuk kategori maraton adalah tujuh jam, half marathon empat jam, dan dua jam untuk 10K. Aturan COT sudah diterapkan sebelumnya.
Pengarah Lomba Borobudur Marathon 2018, Andreas Kansil, mengatakan, pengetatan aturan batas waktu penting menjaga keselamatan pelari. Berlari terlalu lama bisa membahayakan.
Lebih dari itu, aturan itu juga bentuk penghargaan kepada warga sekitar. Keramahan warga yang terus bersorak di sepanjang lintasan jangan dibalas dengan merampas hak mereka terlalu lama. Rute lari itu milik umum, termasuk wisatawan yang datang dari jauh untuk menikmati alam desa. Tenggang rasa atau tepa salira adalah bentuk keselarasan sesungguhnya.
Sodikin (45), warga Desa Wanurejo, mengatakan tak keberatan akses jalan desa ditutup sementara untuk lari. Warga pun sepakat menyukseskan dengan bersorak dan menampilkan kesenian terbaik di kampung. Namun, ia juga berharap, penutupan jalan ada batasnya. ”Ya, kan kami juga mesti kerja,” ujarnya.
Lebih membanggakan
Meski aturan COT dan COP jadi tantangan lebih bagi para peserta, sejumlah pelari menyambut baik. Pelari asal Samarinda, Agung Irfandi (37), menilai, secara tak langsung aturan COT dan COP mendorong peserta terus melaju.
”Sebagai pelari hobi seperti kami, tujuan utama ikut lomba bukan prestasi. Yang utama bisa finis karena ada kebanggaan kalau bisa finis. Di sini, karena ada aturan COT dan COP, finisnya jadi lebih membanggakan,” kata Agung, peserta kategori maraton.
Peserta kategori half marathon, Bonaventura (32), baru kali ini ikut lomba lari yang menerapkan sistem COP. Awalnya, ia berpikir akan sulit memenuhi batas waktu. Namun, saat di lintasan lari, dia justru merasa tertantang agar tidak tertinggal.
”Sangat baik sekali ada batasan waktu. Dengan begitu, peserta tidak asal lari. Secara tidak langsung, itu meningkatkan mutu peserta Borobudur Marathon. Yang finis adalah para pelari yang memang sudah teruji kemampuannya,” ujar Bona.
Tahun ini, Borobudur Marathon juga mengenalkan blue line atau garis biru di sepanjang rute kategori maraton. Garis itu menunjukkan jalur tercepat dan paling efisien mencapai finis.
Peserta Borobudur Marathon 2018 asal Samarinda, Nurhadianto Herry Wibowo (40), mengatakan, sejak awal start selalu mengikuti garis biru setiap beberapa meter. Hingga garis finis, dia terus mengikuti garis itu.
”Hasil lari kami jadi sangat presisi. Dengan begitu, waktu lari kami lebih diakui secara internasional. Itu modal penting ketika kami akan ikut kejuaraan-kejuaraan lain di luar negeri,” ujar dia.
Atlet lari asal Sumatera Barat, Hamdan Syafril Sayuti (29), menuturkan, garis biru itu memang tak otomatis membuat pelari bisa lebih kencang atau dapat catatan waktu lebih baik. Namun, keberadaan garis itu tetap bermanfaat besar untuk bermanuver lebih baik. ”Mengikutinya cukup berguna,” katanya.
Bagaimanapun, Borobudur Marathon adalah lomba lari. Boleh jadi, bagi sebagian besar peserta bukanlah ajang meraih tropi, tetapi upaya mengendalikan diri sendiri.
Berlari di ajang Borobudur Marathon, berlari itu menantang diri dalam harmoni alam dan manusianya. Dan, semua menang. (HARIS FIRDAUS/ADRIAN FAJRIANSYAH/GREGORIUS M FINESSO)