Pada 26 Januari 2009, sebuah pesta khusus nan gemerlap berlangsung di salah satu istana dengan pendingin udara berkekuatan penuh di Riyadh. Diiringi musik yang meriah, Raja Abdullah bin Abdul Aziz tampil menerima persembahan semangkuk nasi. Itu adalah nasi dari beras panenan pertama satu persawahan padi yang luas di Ethiopia yang dibangun oleh para pemodal Arab Saudi di bawah program Prakarsa Raja Abdullah untuk Investasi Pertanian di Luar Negeri.
Sang Raja sangat puas dengan mutu beras dari Ethiopia itu, lalu menyerukan kepada para menteri dan pengusaha yang hadir untuk melipatgandakan usaha mereka. Paul McMahon dalam Feeding Fenzy: The New Politics of Food (2013) membuka bab tentang pencaplokan lahan pertanian dengan paragraf itu. Kerajaan kaya-raya minyak bumi itu berekspansi dengan membeli lahan besar-besaran di negara lain untuk ditanami tanaman pangan. Keputusan itu dipicu oleh hampir runtuhnya pasar pangan dunia saat krisis tahun 2008 serta makin habisnya cadangan air tanah dalam negeri.
Akan tetapi, cerita tentang lahan pertanian Arab Saudi di Ethiopia itu hanyalah salah satu contoh dari kecenderungan yang sedang terjadi di banyak tempat di dunia. Laporan Bank Dunia tahun 2010, sebagaimana dikutip dalam buku itu disebutkan, luas lahan pertanian yang sudah diambil alih di seluruh dunia mencapai 36 juta hektar (ha). Ada perbedaan perkiraan tentang angka luasan tersebut. Namun, perjanjian pengambil alihan juga sudah terjadi di Asia, termasuk di Indonesia, Kamboja, dan Filipina.
Problem lahan bakal menjadi pekerjaan rumah yang semakin kompleks di masa depan. Kerentanan pertanian global diilustrasikan dengan tren penurunan luas lahan pangan per kapita. Gary Gardner dalam Shrinking Fields: Cropland Loss in a World of Eight Billion (1996) menyebutkan, luas lahan pertanian per kapita anjlok 30 persen selama kurun 1950-1981 menjadi 0,16 ha, kurang dari seperempat lapangan sepak bola. Kelaparan hanya diatasi dengan pertumbuhan hasil panen yang mengompensasi penyusutan lahan. Namun, sejak tahun 1985, kombinasi antara penyusutan lahan pertanian, perlambatan pertumbuhan hasil panen, dan perkembangan populasi penduduk menyebabkan produksi per kapita cenderung turun.
Ancaman tak kalah serius terjadi di Indonesia. Hasil penghitungan yang dipublikasi pemerintah pada 22 Oktober 2018 menyebutkan, luas baku sawah berkurang dari 7,75 juta ha menjadi 7,1 juta ha selama 2013-2018. Artinya, 650.000 ha sawah beralih fungsi lima tahun terakhir, rata-rata 130.000 ha per tahun.
Luasan itu bukan angka yang kecil. Sebab, 130.000 ha setara luas 182.072 lapangan sepak bola (ukuran 105 x 68 meter), hampir dua kali luas daratan DKI Jakarta (661,52 kilometer persegi). Artinya, sawah seluas dua kali wilayah Ibu Kota beralih fungsi setiap tahun.
Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-undang 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Namun, belum semua daerah menetapkan lahan-lahan pertanian yang akan dilindungi dalam peraturan daerah (perda) tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan perda LP2B. Sudah ditetapkan pun belum ada jaminan lahan tak akan beralih fungsi.
Undang-undang juga diterjemahkan beragam oleh pemerintah daerah. Ironisnya, tak sedikit kabupaten/kota yang sudah menetapkan Perda RTRW dan memiliki sawah yang relatif luas, tetapi belum menetapkan lahan pangan berkelanjutan.
Kini, ketika sejumlah negara kian gencar ekspansi ke luar negeri untuk mengamankan pasokan pangan, kita justru terkesan membiarkan alih fungsi lahan pertanian produktif terjadi. Sementara program cetak lahan belum signifikan hasilnya. Bagaimana masa depan pangan kita jika lahan pangan terus menyusut?