JAKARTA, KOMPAS - Penyelundupan benih lobster ke luar negeri ditengarai kian marak. Sekalipun sejumlah penyelundupan digagalkan, upaya penyelundupan masih terus berlangsung masif.
Kepala Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP), Rina, di Jakarta, Minggu (18/11/2018), mengemukakan, penyelundupan lobster kian marak antara lain dipicu oleh musim benih.
“Sekarang sedang musim benih (lobster). Disamping itu, ada bandar (penyelundup) baru asal Vietnam,” ujarnya.
Rina menambahkan, sentra produksi benih lobster yang rawan penyelundupan antara lain pantai selatan Cianjur, Banten, Jawa Timur dan Lombok. Penyelundupan benih lobster asal Indonesia marak seiring tingginya permintaan dari negara lain, terutama Vietnam, yang tidak memiliki sumber benih.
Modus penyelundupan benih lobster saat ini lebih banyak melalui jalur darat menuju ke Sumatera, lalu menyeberang ke luar negeri melalui kapal cepat (speedboat).
Selama periode Oktober hingga November 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menggagalkan 11 kasus penyelundupan benih lobster. Benih lobster yang diselamatkan itu sebanyak 347.291 ekor dengan potensi kerugian setara Rp. 45,95 miliar.
Sepanjang 2017, kasus penyelundupan benih lobster yang digagalkan tercatat 77 kasus sebanyak 2.237.240 ekor dengan potensi kerugian negara yang diselamatkan mencapai Rp 336,377 miliar. Modus penyelundupan sangat beragam, antara lain benihlobster dicampur dengan komoditas ikan basah, baju anak, mainan anak, sayuran, koper pakaian, ataupun perangkat komputer.
Benih-benih hasil tangkapan dikumpulkan pada beberapa lokasi penampungan, sebelum akhirnya diangkut dengan kapal ke luar negeri melalui pelabuhan tangkahan atau pelabuhan tak resmi.
Harga benih lobster mutiara di tingkat nelayan berkisar Rp 30.000 per ekor, sedangkan saat dijual ke luar negeri bisa mencapai Rp 200.000 per ekor.
Larangan ekspor benih lobster tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus), Kepiting (Scylla), dan Rajungan (Portunus) dari wilayah NKRI. Aturan itu mensyaratkan penangkapan lobster minimal berukuran panjang karapas lebih dari 8 sentimeter atau berat diatas 200 gram.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam siaran pers, mengemukakan, perdagangan kepiting perlu ditertibkan karena selama ini lebih banyak berasal dari hasil penangkapan dari alam, dan bukan dari budidaya. Tingginya permintaan kepiting telah memicu intensitas penangkapan kepiting di alam semakin tinggi dan cenderung eksploitatif.
Di 10 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI, pemanfaatan kepiting rajungan berada pada kategori fully exploited (eksploitasi penuh) hingga over-exploited (eksploitasi berlebih). Anjloknya populasi terlihat dari eksportir dari Jakarta, Bali, dan Surabaya yang sangat sulit mendapatkan ukuran diatas 1 kg.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, volume ekspor kepiting rajungan periode 2012 – 2017 tumbuh rata-rata 0,67 per tahun, sedangkan nilai ekspor tumbuh 6,06 persen per tahun.