JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi di Indonesia dari sumber energi fosil ke energi terbarukan memerlukan waktu. Transisi ini, selain wujud dari Persetujuan Paris yang ditandatangani Indonesia, merupakan pelaksanaan amanat Kebijakan Energi Nasional. Pemerintah sendiri mencemaskan target energi terbarukan di 2025 tidak tercapai.
Transisi energi menjadi pembahasan utama pada acara peluncuran Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) pada pekan lalu di Jakarta. ICEF, yang dipimpin Menteri Pertambangan dan Energi 1998-1999 Kuntoro Mangkusubroto, adalah wadah bagi berbagai pemangku kepentingan bertukar gagasan mendorong transformasi menuju sistem energi yang rendah karbon. Salah satu perhatian ICEF adalah bagaimana target energi terbarukan 23 persen dalam bauran energi nasional di 2025 bisa tercapai.
Menurut Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif, adalah fakta bahwa perkembangan energi terbarukan di Indonesia berjalan lamban. Selain butuh dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah, proyek pengembangan energi terbarukan di Indonesia harus berskala besar agar memperoleh nilai keekonomian dalam bisnis. Peluang itu ada mengingat potensi energi terbarukan di Indonesia beragam dan kapasitasnya besar.
"Hanya saja, semua itu perlu waktu. Tidak bisa diwujudkan dengan cepat. Namun, bisa saja percepatan itu terjadi apabila ada dukungan kebijakan yang kuat, serta pelaksanaan proyek pengembangan energi terbarukan berskala besar," ujar Irwandy saat dihubungi, Minggu (18/11/2018), di Jakarta.
Apalagi, lanjut Irwandy, bisnis pasokan dan mata rantai sektor batubara di Indonesia sudah berlangsung lama dan cukup mapan. Di satu sisi, target pertumbuhan energi terbarukan dan pengurangan penggunaan batubara dalam bauran energi nasional nyaris tidak jauh berbeda. Dalam Kebijakan Energi Nasional, pada 2050 nanti porsi energi terbarukan minimal sebesar 31 persen, sedangkan batubara sedikitnya 25 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Forum Fabby Tumiwa mengatakan, permasalahan rasio elektrifikasi yang menjadi fokus pemerintah, sebenarnya bisa diselesaikan dengan pemanfaatan energi terbarukan. Di beberapa daerah terpencil, pemanfaatan biogass dan tenaga air menghasilkan ongkos yang lebih murah ketimbang listrik berbahan bakar minyak solar. Hanya saja, lanjut dia, perlu studi tertentu untuk pengembangan energi terbarukan tersebut dan memakan waktu dibanding membeli solar yang bisa dilakukan lebih cepat.
"Memang benar bahwa rasio elektrifikasi belum merata. Begitu pula konsumsi listrik per kapita antar satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Jawa dan luar Jawa sangat signifikan. Tetapi, ini bukan berarti pemerataan rasio elektrifikasi dan pemenuhan energi itu tidak bisa dilakukan dengan energi terbarukan," kata Fabby.
Fabby menambahkan, sumber energi terbarukan saat ini sudah menjadi pilihan utama di banyak negara. Kemajuan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) maupun tenaga bayu (PLTB) sulit dibendung dengan teknologi yang semakin murah dan efisiensi yang terus meningkat. Dunia saat ini mengalami tren global sektor energi, yaitu dekarbonisasi, digitalisasi, desentralisasi pembangkit listrik, serta demokratisasi penyediaan listrik yang mana konsumen listrik bisa bertindak sekaligus sebagai produsen.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, pekan lalu, mengatakan bahwa dirinya mengkhawatirkan target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional di 2025 tidak tercapai. Usaha mencapai target tersebut membutuhkan investasi besar yang dapat berdampak pada harga jual listrik kepada konsumen. Hal itu, kata dia, yang akan dihindari oleh pemerintah.
Hal lainnya, lanjut Jonan, pemanfaatan sumber energi terbarukan harus bersaing dengan kebutuhan manusia. Ia mencontohkan tetes tebu sebagai bahan baku etanol untuk dicampurkan ke bensin sebagaimana layaknya program mandatori B-20. Akibatnya, produksi tetes tebu terbatas dan pengembangan bioetanol tidak optimal.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Pasal 9 huruf f tertulis bahwa peran energi terbarukan sedikitnya 23 persen di 2025 dan naik menjadi 31 persen di 2050. Peran minyak bumi berkurang dari 25 persen di 2025 menjadi 20 persen di 2050. Di waktu yang sama, peran batubara dikurangi dari 30 persen menjadi 25 persen.