Apabila ditanya partai mana yang selalu memiliki pandangan berbeda dibandingkan dengan partai lain dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mungkin jawabannya ialah Partai Demokrat. Hal ini tidak terlepas dari pernyataan para elite Demokrat yang seolah menunjukkan arah berlawanan dalam tubuh koalisi. Pertanyaan besar pun muncul di publik, setiap pandangan berbeda dari Demokrat tersebut merupakan suatu strategi politik atau ketidakcocokan dalam koalisi?
Jika ditarik ke masa pengusungan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Sandiaga, pernyataan awal yang berbau kontroversial datang dari elite Demokrat. Masih segar di ingatan publik bahwa saat itu atau tepatnya pada pertengahan Agustus 2018, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief melontarkan pernyataan terpilihnya Sandiaga mendampingi Prabowo karena terkait mahar politik.
Pernyataan Andi di akun media sosial Twitter menyebut Sandiaga dipilih sebagai cawapres mendampingi Prabowo karena Sandiaga diduga memberikan mahar politik kepada Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera. Selang beberapa minggu, isu tersebut pun berakhir dengan putusan Badan Pengawas Pemilu yang menyatakan dugaan mahar politik Sandiaga Uno tidak terbukti.
Meski tak berakibat perpecahan di dalam koalisi, pernyataan tersebut menjadi titik awal pandangan berbeda dari Demokrat. Beberapa pernyataan ataupun sikap petinggi Demokrat dalam sejumlah kesempatan seolah tidak mendukung penuh untuk pemenangan Prabowo-Sandiaga.
Salah satu sikap tersebut terlihat saat pembekalan calon anggota legislatif Partai Demokrat, Minggu (11/11/2018), di Jakarta. Dalam kesempatan itu, Ketua Komisi Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono menyampaikan bahwa partai hanya bisa mengimbau agar mendukung Prabowo-Sandiaga.
Menurut Edhie, sikap akhir diserahkan kepada caleg sesuai peta kekuatan politik capres-cawapres di wilayahnya. Ia juga menyatakan tidak akan ada sanksi bagi caleg jika ada yang memilih memenangkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Acara pembekalan caleg tersebut pun tak disemarakkan dengan spanduk atau atribut pemenangan Prabowo-Sandiaga. Spanduk yang menghiasi sepanjang arena pembekalan adalah bendera Partai Demokrat dan spanduk keluarga Yudhoyono. Saat Yudhoyono berpidato pun tidak ada yel-yel dukungan terhadap Prabowo-Sandiaga oleh peserta pembekalan (Kompas, 12/11/2018).
Sikap Demokrat ini jelas tidak menguntungkan koalisi Prabowo-Sandiaga. Padahal, dukungan penuh dari mesin partai koalisi di tingkat bawah hingga pusat dapat berpengaruh terhadap elektabilitas suatu pasangan capres-cawapres.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto menyebutkan, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono baru akan mengampanyekan pasangan Prabowo-Sandiaga satu bulan sebelum pemungutan suara pada 17 April 2019.
”Pak SBY telah memutuskan Partai Demokrat mendukung pasangan Prabowo dan Sandi sehingga dukungan direncanakan pada saat yang tepat, yaitu kurang lebih pada Maret,” ujar Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Penyebab Demokrat bersikap seperti ini, menurut Agus, tak lain karena Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 yang berlangsung serempak. Oleh karena itu, Agus menegaskan, partainya lebih memilih fokus pada pemenangan pemilihan anggota legislatif terlebih dahulu.
Lebih lanjut Agus menjelaskan, seluruh kader partai juga harus lebih bekerja keras karena Demokrat ingin meraih kesuksesan dan hasil yang memuaskan pada dua pemilihan tersebut.
Menghormati keputusan
Terkait sikap Demokrat ini, Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak, menghormati keputusan dan sikap Yudhoyono ataupun Partai Demokrat tersebut. Menurut dia, setiap partai politik dalam koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga memiliki cara dan strategi masing-masing untuk melakukan kampanye.
”Keputusan tersebut sudah disampaikan kepada teman-teman yang ada di BPN. Kami percaya dan menyerahkan sepenuhnya keputusan Pak SBY terkait momentum yang tepat untuk memulai kampanye,” ucap Dahnil.
Dahnil juga menilai, arahan Yudhoyono terhadap para caleg Demokrat merupakan bentuk strategi dalam menghadapi kontestasi pemilu presiden dan legislatif yang berjalan serempak. Dia tetap yakin kualitas strategi yang diterapkan Yudhoyono akan berdampak positif terhadap elektabilitas dan pemenangan Prabowo-Sandiaga.
Kondisi kontras
Segala pandangan berbeda dari Demokrat ini kontras dengan apa yang terjadi di Koalisi Indonesia Kerja pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kader dari sembilan partai pengusung Jokowi-Ma’ruf, yakni PDI-P, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI, terlihat kompak berkampanye dengan membawa nama Jokowi-Ma’ruf.
Bahkan, Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Hasto Kristiyanto, menyatakan, caleg dari sembilan partai koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf terancam sanksi jika tidak menyosialisasikan capres-cawapres nomor urut 1 tersebut.
Menurut Hasto, sanksi terhadap caleg partai koalisi yang tidak menyosialisasikan Jokowi-Ma’ruf diberikan karena pemilu legislatif dan presiden serempak tahun depan harus seiring sejalan. Adapun sanksi yang diberikan terhadap caleg yang melanggar akan diserahkan kepada partai masing-masing.
”Semua agar bergerak mengamankan teritorial masing-masing. Seluruh caleg, baik dari PDI-P, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, PKPI, Perindo, PSI, kalau tidak menyosialisasikan Pak Jokowi-Kiai Maruf, akan diberikan sanksi. Apa yang disampaikan adalah rekomendasi Rakernas TKN Koalisi Indonesia Kerja,” tutur Hasto saat konsolidasi Tim Kampanye Daerah Tingkat Kabupaten/Kota di Jawa Timur, Jumat (16/11/2018).