Mereka Menua di Ibu Kota
”Ibu! Ibu! Ibu!” teriak Betty. Tidak ada yang tahu siapa ibu yang Betty maksud.
Mata-mata renta terpejam damai. Embusan angin panas jadi pengantar tidur. Di antara semua mata terpejam, ada sepasang mata yang masih awas. Matanya berkilat saat didatangi. Senyum hangat langsung disuguhkannya. Satu yang dipikirkannya: Nenek kedatangan tamu.
Di sudut kanan ruangan, Gussti Komariah (71) duduk di atas kasur. Pakaian panti berwarna hijau pastel ia padukan dengan kerudung merah. Kaki telanjangnya ia tutupi dengan selembar sarung merah. Ia bercerita, sudah tujuh tahun dirinya tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3, Jakarta Selatan.
Terhitung sejak 2011, Riah, nama panggilannya, menetap di panti ini. Ia kini menghuni Ruangan Anggrek bersama 20 warga binaan sosial (WBS) lainnya. Semuanya adalah warga lansia. Di ruangan ini, mayoritas WBS menderita gangguan jiwa psikotik. Hanya ada tiga WBS yang menurut Riah waras dan dapat diajak berkomunikasi dengan nyambung, termasuk dirinya.
Dari semua WBS di ruangan ini, Betty adalah yang paling terkenal. Menurut Riah dan sejumlah pramusosial, Betty menderita gangguan jiwa psikotik. Cukup parah kata mereka. Tidak hanya menderita gangguan psikis, ia juga menderita gangguan penglihatan. Setiap hari, Betty berbicara dengan suara keras sembari menatap kosong ke depan. ”Ibu! Ibu! Ibu!” teriak Betty. Tidak ada yang tahu siapa ibu yang Betty maksud.
Suasana Ruangan Anggrek yang semula sepi berubah ramai sejak Betty tiba di ruangan. Igauannya ia suarakan dengan keras. Tak lama berselang, salah satu WBS yang juga menderita gangguan jiwa psikotik menyahuti igauan Betty dengan suara yang tak kalah keras. Perdebatan sengit di antara keduanya baru selesai ketika seorang pramusosial menegur mereka. Riah tersenyum geli menyaksikan semua ini.
Sudah biasa
Menurut Riah, kejadian barusan bukan hal baru baginya. Ia sudah terbiasa dan sudah maklum. Setiap hari, Riah menghabiskan waktu dengan duduk dan membaca doa. Buku doa bersampul kuning terletak rapi di atas kasurnya. Jika buku itu sudah habis dibaca, ia akan meminta pramusosial untuk mengambilkan buku lain untuk ia baca. Ia membaca dengan tenang. Bau amonia yang menyengat di dalam ruangan tidak digubrisnya. Begitu pula dengan suara teriakan Betty.
Bau itu berasal dari urine para WBS. Mereka sudah kehilangan kemampuan untuk mengontrol pembuangan ekskresinya. Walaupun sudah menggunakan popok dewasa, para WBS itu masih sering buang air di tempat yang tidak seharusnya. Bantal, kasur, dan lantai pernah jadi sasaran bersih-bersih para pramusosial.
Riah bercerita, setiap hari dirinya dibantu oleh para pramusosial untuk buang air dan mandi. Ia tidak lagi mampu melakukan aktivitas dasar seperti itu karena cedera pada tubuhnya. Tulang pada kaki kiri dan pinggulnya patah setelah terjatuh pada 2017. Untuk duduk pun ia harus menyangga tubuh dengan tumpuan pada tangan kiri.
Tak banyak aktivitas yang dapat ia lakukan kini. Senam kesegaran jasmani yang diadakan pada pukul 08.00 pun harus ia lewatkan karena tidak bisa bergerak bebas. Kini ia lebih sering menghabiskan waktu dengan duduk dan mengamati tingkah polah para WBS di Ruangan Anggrek.
”Nenek lebih senang di sini daripada ikut keluarga. Enggak mau ngerepotin keluarga. Kan, malu kalau kerjaannya cuma rebahan. Di sini, mah, bebas mau rebahan. Enggak perlu enggak enak sama orang,” katanya sambil terkekeh.
Tidak bosan
Walaupun harinya dihabiskan dengan duduk dan membaca, Riah mengatakan tidak bosan. Menurut dia, membaca doa dan beribadah adalah kegiatan paling ampuh untuk mengusir kebosanan. Ia paling senang apabila dikunjungi seorang temannya dari Ruangan Melati. Namun, temannya itu kini jarang berkunjung karena memiliki kesibukan sendiri.
Hal serupa dikatakan Ani Sumarto (65), salah satu WBS di Ruangan Anggrek. Ani pun menyebutkan tidak bosan berada di panti yang didirikan sejak 1965 ini. Padahal, ia menghabiskan hari dengan duduk dan berbincang dengan Nek Siti, temannya di kasur sebelah. Perbincangan pun tidak berlangsung setiap saat karena Nek Siti sering menghabiskan waktunya dengan tidur.
Menurut jadwal kegiatan WBS Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3, ada sejumlah kegiatan yang bisa diikuti WBS. Beberapa kegiatan itu antara lain jalan sehat keliling panti, bimbingan rohani, bimbingan kesenian, dan bimbingan psikologi. Setiap kegiatan berlangsung selama dua jam. Namun, tidak semua kegiatan dilakukan dalam satu hari.
Tidak semua warga lansia penghuni panti sosial ini dapat mengikuti aktivitas tersebut. Sejumlah WBS dengan keterbatasan fisik hanya dapat tinggal di kamar. Namun, bagi mereka yang bugar fisiknya, kegiatan pengisi hari adalah hal yang menyenangkan bagi mereka.
Suryani Heri (71) misalnya. Kondisi fisiknya masih bugar dan prima. Hampir semua kegiatan di panti ini ia ikuti kecuali kegiatan kesenian. Pasalnya, ia tak mampu lagi memegang benda-benda kecil karena cedera pada tangannya. ”Selama masih bisa ngikutin kegiatan-kegiatan, kenapa tidak diikuti? Daripada cuma diam,” katanya.
Hingga renta
WBS di panti ini adalah penduduk lansia yang rata-rata berusia di atas 60 tahun. Menurut Kepala Satuan Pelaksana Pembinaan Sosial Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3 Elisabeth, ada 300 WBS yang mereka tampung hingga Oktober 2018. Dari jumlah itu, ada 76 laki-laki dan 224 perempuan. Ia mengatakan, semua WBS di panti ini berasal dari jalanan di DKI Jakarta.
Ada sejumlah WBS yang diambil kembali oleh keluarganya. Namun, Elisabeth tidak dapat memastikan jumlahnya. Ia juga menuturkan, para WBS umumnya tinggal di panti sosial dalam waktu yang lama, bahkan hingga ajal menjemput.
Sri Mulyati (72) misalnya. Ia adalah WBS yang telah tinggal di panti ini selama lebih kurang 20 tahun. Ia mengaku betah tinggal di panti, entah apa alasannya.
Sri yang memiliki gangguan pendengaran menyebutkan paling senang apabila ada banyak orang, terlebih dapat diajak mengobrol. Sorot mata Sri menghangat ketika dirinya didatangi para mahasiswi yang sedang menjalani praktik kerja lapangan. Ia juga lebih sering mengumbar senyum dan candaan ketika diajak mengobrol.
Ketika salah satu mahasiswi pamit untuk pergi sejenak, sorot mata Sri berubah menjadi agak sendu. Ia lebih senang mengobrol beramai-ramai. Dengan mengobrol dan bercanda, Sri jadi punya kesempatan untuk menunjukkan senyum ompongnya.
Ada satu kesamaan dari semua penduduk lansia di panti ini: mereka senang bercerita. Cerita mereka panjang, banyak, dan memorial. Berbincang dengan satu atau dua orang lansia sudah cukup untuk menulis sebuah buku kumpulan cerpen. Namun mereka tidak butuh itu. Yang mereka butuhkan hanya sepasang telinga untuk mendengarkan cerita dan sepasang mata untuk menangkap semangat dalam cerita mereka. (SEKAR GANDHAWANGI)