Bencana bisa hadir dalam bentuk yang beragam, mulai dari bencana alam, sosial, krisis ekonomi, hingga perang. Namun, ketiadaan sumber air bersih, lemahnya higienitas, dan buruknya sanitasi pun bisa menjadi bencana kesehatan masyarakat paling mendasar.
Pada Pembukaan konferensi sanitasi Asia Selatan ke-3 di New Delhi tahun 2008, Singh M, Perdana Menteri India saat itu mengutip pernyataan Mahatma Gandhi yang pada tahun 1923 menyebutkan bahwa “sanitasi lebih penting dari kemerdekaan”. Selain untuk kesehatan, sanitasi, higienitas, dan akses pada air bersih juga fundamental bagi pembangunan sosial dan ekonomi.
Perbaikan pada minimal satu dari tiga hal itu terbukti secara substansial dapat mengurangi angka kesakitan akibat penyakit dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat terutama anak-anak pada negara berkembang. Satu hal yang bisa dipakai untuk melihat sejauh apa kondisi sanitasi, air bersih, dan higienitas adalah bagaimana perilaku buang air besar masyarakat.
Satu hal yang bisa dipakai untuk melihat sejauh apa kondisi sanitasi, air bersih, dan higienitas adalah bagaimana perilaku buang air besar masyarakat.
Akses pada sumber air bersih yang cukup, sanitasi yang baik, dan higienitas yang terjaga akan memungkinkan masyarakat buang air besar di jamban. Sebaliknya buang air besar yang sembarangan menunjukkan hak-hak dasar warga belum terpenuhi. Mereka pun rentan terkena penyakit.
Sebagai negara berkembang, Indonesia pun menghadapi persoalan kesehatan lingkungan terutama terkait sanitasi dan air bersih. Di era teknologi informasi yang berkembang pesat bahkan menjelang revolusi industri 4.0 sekarang ini masih ada warga yang buang air besar sembarangan (BABS). Tidak cuma di pedesaan BABS juga terjadi juga pada sebagian warga kota bahkan di Jakarta sekalipun.
Dari sudut pandang ekonomi, studi program Air dan Sanitasi Bank Dunia (WSP) menunjukkan, Indonesia kehilangan sekitar 6,3 miliar dollar Amerika Serikat (setara dengan 2,3 persen Produk Domestik Bruto/PDB) setiap tahun akibat kondisi sanitasi dan higienitas yang jelek.
Indonesia kehilangan sekitar 6,3 miliar dollar Amerika Serikat setiap tahun akibat kondisi sanitasi dan higienitas yang jelek.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 memperlihatkan, masih ada 3,7 persen keluarga dengan balita membuang tinja balitanya dengan cara ditanam di tanah, 33,5 persen dibuang sembarangan, dan 37,8 persen dibersihkan di sembarang tempat.
Apabila dilihat lebih jauh, dari keluarga yang membuang tinja balitanya dengan cara ditanam ke tanah, 1,9 persen di antaranya merupakan keluarga di perkotaan dan 5,7 persen di antaranya adalah keluarga di pedesaan.
Perilaku pada orang dewasa pun ternyata masih menyisakan masalah. Perbaikan perilaku dalam BAB dari waktu ke waktu terbilang lambat. Lihat saja proporsi perilaku yang benar dalam BAB pada penduduk usia 10 tahun ke atas menurut Riskesdas 2018 masih 88,2 persen atau meningkat sedikit dari Riskesdas 2013 yang sebesar 82,6 persen.
Menurut Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali, masih banyaknya keluarga yang belum memiliki jamban sendiri umumnya disebabkan tempat tinggal mereka yang sulit, seperti di tepi sungai atau pesisir yang mengalami pasang surut. Meski mereka memiliki jamban tetapi jika pembuangannya bermuara ke sungai atau laut tetap saja masih BABS.
Tantangan lain dari bebas BABS adalah kondisi ekonomi warga yang kurang mampu. Mereka tidak memiliki cukup uang untuk membangun jamban sendiri. Muncul inisiatif-inisiatif di daerah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi bersih, misalnya memberikan kredit berbunga rendah untuk membangun jamban.
Sebenarnya, jamban komunal bisa menjadi jalan keluar bagi keluarga yang tidak mampu untuk dapat memiliki jamban terutama masyarakat di perkotaan. Di beberapa lokasi hal ini bisa berjalan.
Jamban komunal bisa menjadi jalan keluar bagi keluarga yang tidak mampu untuk dapat memiliki jamban terutama masyarakat di perkotaan.
Tantangan pemerintah
Pemerintah, melalui program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), terus berupaya mengurangi tingkat BABS di seluruh wilayah Indonesia. Harapannya, BABS yang terus menurun akan dapat menurunkan kejadian penyakit berbasis lingkungan termasuk kondisi stunting akibat diare kronis.
Perilaku buang air besar di jamban merupakan satu dari lima pilar STBM. Empat pilah lainnya adalah cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga, dan pengelolaan limbah cair rumah tangga.
Masih adanya warga yang BABS menjadi tantangan untuk mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. RPJMN menetapkan target tarcapainya akses universal 100 persen air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen stop bebas BABS pada 2019.
Akses terhadap air bersih dan stop BABS akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi terkait sanitasi yang menurun memungkinkan masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidupnya dan lebih produktif. Ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).