JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi, diminta untuk mengundang dua pasangan calon peserta Pemilihan Presiden 2019, sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini dilakukan, agar kedua pasang calon presiden dan calon wakil presiden, bisa mengemukakan pandangannya tentang pendidikan anak sekolah di hadapan peradilan konstitusi.
“Selama ini perdebatannya hanya di tataran politik diksi, seperti tampang Boyolali dan genderuwo yang kurang menarik dan mengedukasi pemilih. Pemohon dalam permohonan ini ingin menggeser perdebatan itu ke ranah politik konstitusi. Artinya, karena yang akan dipilih adalah presiden, perdebatannya harus lebih bermakna. Jadi, pasangan capres itu akan saya minta diundang di MK melalui perkara yang saya ujikan,” kata pengacara Irman Putrasidin di Jakarta, Selasa (20/11/2018).
Permohonan yang diajukan oleh Irman tersebut, tercatat di MK pada 12 November 2018. Uji materi dilakukan terhadap Pasal 34 Ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pasal 34 Ayat (2) tersebut berbunyi, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Dalam permohonannya, pemohon meminta MK agar menyatakan frasa “jenjang pendidikan dasar” bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau sekolah lain yang sederajat. Selama ini, jenjang pendidikan dasar yang diamanatkan oleh UU itu dimaknai setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Oleh karena itu, program pendidikan gratis hanya berlaku untuk anak sekolah sampai 9 tahun pendidikan, atau setingkat SMP.
Irman menuturkan, tamat SMA telah jadi syarat dasar pejabat negara, dan sebagian besar lapangan kerja. Oleh karena itu, hanya membatasi pendidikan dasar sampai SMP, berarti negara mengabaikan hak konstitusional anak-anak untuk mencapai pendidikan dasar yang jadi ukuran standar bagi kompetensi pekerjaan yang layak, atau jadi pejabat negara dan pejabat publik.
Nomor register
Permohonan yang diajukan Irman itu belum mendapatkan nomor register, sehingga belum dikaji oleh hakim MK. Kesediaan kedua capres dan cawapres untuk memenuhi undangan itu pun tergantung kepada masing-masing pihak. Keikutsertaan menjadi pihak terkait dalam peradilan di MK tidak harus mengikuti perintah MK, dan setiap orang bisa mengajukan diri secara sukarela sebagai pihak terkait bilamana mereka merasa berkepentingan dengan pengujian suatu UU di MK.
Juru Bicara MK yang juga hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan, MK belum bisa berkomentar mengenai permohonan untuk mengundang dua pasang capres dan cawapres itu sebagai pihak terkait. Ini karena permohonan itu belum diregister oleh MK.
Secara terpisah, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Arsul Sani, mengatakan, menghormati permohonan uji materi tersebut. Namun, upaya mengundang Jokowi-Ma’ruf ke MK agar mengemukakan pendapatnya sebagai pihak terkait, menurut Arsul, tidak tepat. Ini karena visi-misi Jokowi-Ma’ruf telah diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum, dan hal itu sebaiknya dikemukakan di depan publik, dan tidak dilakukan di forum pengadilan. "Jika misalnya putusan MK menyatakan pendidikan dasar itu sampai 12 tahun, tentu pasangan kami akan menindaklanjutinya,” katanya.
Sementara itu, kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno belum menyatakan sikapnya karena belum mengetahui permohonan uji materi itu. “Kalau sudah ada undangannya, pasti kami pertimbangkan, karena pendidikan menjadi salah satu perhatian utama Pak Prabowo dan Bang Sandi. Sepanjang itu terkait dengan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, beliau berdua konsen mengenai hal itu,” kata Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade.
Pemerhati Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, upaya menghadirkan dua pasang capres dan cawapres dalam uji materi UU Sisdiknas, akan menjadi langkah terobosan untuk mengubah skema dan konten kampanye yang selama ini yang cenderung kurang substansial.
Menurut Refly, mengemukakan program dan sikap terkait suatu kebijakan di pengadilan, bukan termasuk kampanye. Pasalnya, mereka hadir sebagai warga negara biasa, yang juga memiliki hak untuk berpendapat dan mengemukakan sikapnya atas suatu kebijakan di depan pengadilan.