Setelah hadir di KTT ASEAN, China meneruskan pendekatan bilateral ke Filipina dan Brunei Darussalam. Meski janji lama belum terwujud, Beijing kembali membawa janji ke Manila.
MANILA, SELASAPresiden China Xi Jinping mendapat sambutan meriah di Filipina dan Brunei Darussalam. Lawatan Xi itu dilakukan di tengah ketegangan China dengan Amerika Serikat. Filipina, sekutu dan bekas jajahan AS, disambangi Xi pada Selasa (20/11/2018). Xi tiba di Manila selepas lawatan dari Bandar Seri Begawan, Senin (19/11).
Lawatan Xi ke Filipina dilakukan setelah AS-China berseteru di KTT APEC, pekan lalu. Perseteruan tersebut membuat para pimpinan negara APEC gagal menghasilkan komunike bersama.
Dalam lawatan di Manila, pejabat penting Filipina, sipil, dan militer menemui Xi. Sekolah-sekolah diliburkan dan ribuan polisi dikerahkan untuk mengamankan muhibah Xi. ”Hubungan kita (China-Filipina) seperti pelangi,” kata Xi seraya menyatakan China-Filipina sudah berhubungan sejak lebih dari 1.000 tahun lalu.
Hubungan Manila-Beijing yang pasang surut cenderung membaik sejak Filipina dipimpin Rodrigo Duterte. Ia menyokong Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) yang diusung China meski banyak negara barat mengingatkan prakarsa itu bisa menghasilkan perangkap utang. Selain soal perangkap utang, perwujudan proyek dari prakarsa tersebut tidak jelas.
Beijing menjanjikan 24 miliar dollar AS kepada Manila. Walakin, sampai sekarang amat kecil proyek dan investasi yang sudah terwujud. Menteri Keuangan Filipina Benjamin Diokno mengakui rendahnya realisasi itu. Kelambanan itu terutama karena China tidak terlalu paham mekanisme tender proyek besar di Filipina. Ia berharap masalah tersebut bisa teratasi setelah lawatan Xi. ”Kunjungan kepala negara China akan mendorong tim (di China),” ujarnya.
Tantangan
Direktur PSA Consultancy Gregory Wyatt mengatakan, investasi China di Filipina masuk lewat properti, jasa, dan akuisisi perusahaan-perusahaan di Filipina. Belum ada investasi pada infrastruktur skala besar ataupun manufaktur. ”Investasi asing datang, pinjaman infrastruktur belum,” kata direktur lembaga konsultan di Filipina itu.
Proyek besar di Filipina menghadapi sejumlah tantangan, seperti persetujuan pemerintah dan penolakan politisi. Persetujuan pemerintah pusat tidak berarti dukungan dari seluruh birokrasi. ”Tidak setiap birokrat, politisi lokal, dan masyarakat antusias mendukung,” ujarnya.
Selain infrastruktur, dalam lawatan Xi juga ada kesepakatan Manila-Beijing soal kerja sama eksplorasi minyak dan gas lepas pantai. Beijing juga berusaha mendorong kesepakatan soal mekanisme hubungan militer kedua negara di sengketa di Laut China Selatan (LCS). Meskipun demikian, sejumlah pejabat pertahanan Filipina menolaknya.
”Filipina seharusnya tidak melemahkan kedaulatan yang dikuatkan pengadilan arbitrasi,” kata hakim Mahkamah Agung Filipina Antonio Carpio, soal kerja sama maritim Beijing-Manila di LCS.
Hakim Carpio merujuk pada keputusan Mahkamah Internasional yang mengakui klaim Manila atas zona ekonomi eksklusif di LCS. Di bawah Duterte, Manila memang tidak lagi berupaya keras mempertahankan klaim itu terhadap Beijing.
Kerja sama migas
Bandar Seri Begawan juga menempuh langkah serupa dengan Manila. Meski bersengketa dengan China soal klaim di LCS, Brunei Darussalam tetap membuka pintu kerja sama dengan China.
Sultan Hassanal Bolkiah menyambut Xi dalam upacara kebesaran di istana. Seperti kepada Manila, Xi juga menjanjikan investasi besar kepada Bandar Seri Begawan. Beijing menawarkan investasi perminyakan, jalan tol, dan bendungan. China akan membangun kilang minyak dan pabrik petrokimia di negara yang sepenuhnya mengandalkan migas sebagai sumber pendapatan dan penghasilnya sedang menurun itu.
Dalam pernyataan resmi, Brunei mendukung BRI. ”Brunei, yang pendapatan dari migas merosot dalam beberapa tahun mendatang, sedang mencari pertolongan dari China untuk membangun sumber pendapatan lain,” kata pakar Asia Tenggara di CSIS AS, Murray Hiebert.