Junjung Toleransi, Mencegah Indonesia Menjadi Seperti Suriah
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Ujaran-ujaran kebencian antarsesama anak bangsa Indonesia harus dihentikan, demi menjaga keutuhan NKRI. Sikap toleransi dan menghargai perbedaan perlu terus ditanamkan, agar tak terjadi hal-hal tak diinginkan, seperti perang saudara di Suriah.
Itu dikatakan ulama Suriah, Syaikh Abdussalam Rajih yang hadir pada Rapat Forkompinda Jawa Tengah "Merawat Keragaman, Memperkuat Solidaritas menuju Jateng yang Aman dan Damai" di Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (21/11/2018). Menurutnya, toleransi ialah hal penting.
"Kini, Suriah mendapat serangan dari negara-negara lain, juga difitnah oleh berbagai pihak serta menjadi obyek kepentingan global. Jangan sampai hal itu terjadi di Indonesia. Bagi saya, Indonesia ialah ibunya peradaban Islam, yang patut menjadi contoh bagi negara lain," ujar Abdussalam.
Dia yakin, Indonesia merupakan negara yang mampu menghasilkan generasi-generasi yang mampu menciptakan peradaban Islam. Sinergitas antarpihak perlu ditingkatkan. Dan, untuk terus memupuk perdamaian, perlu ada keterlibatan para ulama dan umara (pemimpin).
Abdussalam menuturkan, banyak pihak yang datang ke Suriah dengan membawa senjata dan mengaku menegakkan syariat Islam. "Bagaimana bisa, menegakkan syariat dengan membunuh sesama saudara dan menciptakan kegaduhan politik?" katanya.
Abdussalam pun mengajak warga Indonesia untuk kembali menyadari bahwa Allah menciptakan umat manusia dalam berbagai kelompok agar saling mengenal. Juga, saling akrab satu sama lain, sehingga tercipta perdamaian di dalam perbedaan.
Hadir juga dalam acara itu antara lain Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Kepala Polda Jateng Inspektur Jenderal Condro Kirono, Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayor Jenderal TNI Wuryanto, dan Rais Am Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah Habib Luthfi bin Yahya.
Ganjar menuturkan, saat ini, khususnya di media sosial, mencerca pemimpin, menghina ulama, seakan-akan telah menjadi bagian dari egalitarian zaman. "Bagi saya tidak. Ini (awal) dari kekacauan yang akan dimulai. Mari hentikan semua itu," ucap Ganjar.
Menjelang 2019, tahun diselenggarakannya, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, semua pihak perlu menjaga diri dari keinginan untuk berujar kebencian dan kampanye hitam. Selalu kedepankan dialog, dan itu dilakukan dalam debat-debat publik.
Menurut Condro, politik identitas pasti akan terjadi jelang Pemilu 2019. "Namun, harus tetap dalam wadah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tentu kita tak inginkan adanya politik identitas negatif yang menyuarakan kebencian, apalagi dengan simbol-simbol agama," ujarnya.
Adapun acara tersebut dihadiri sekitar 550 orang, di antaranya para kepala daerah di 35-kabupaten/kota di Jateng, perwakilan forkompinda daerah, dan sejumlah ulama asal Jateng.