Lahan Pangan Terus Beralih Fungsi
Luas baku sawah menyusut 645.855 hektar selama kurun tahun 2013-2018, antara lain untuk infrastruktur dan industri. Penetapan lahan pangan berkelanjutan dinilai mendesak.
JAKARTA, KOMPAS - Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), luas baku sawah pada tahun 2013 tercatat 7,75 juta hektar. Namun, hasil penghitungan terakhir, luasnya berkurang jadi 7,105 juta hektar.
Perubahan itu disebabkan oleh penyusutan luas area persawahan yang cukup signifikan di Pulau Sumatera, yakni 456.958 hektar, serta di Pulau Kalimantan, yakni 349.254 hektar. Namun, ada penambahan lahan di Pulau Jawa seluas 124.445 hektar.
Penyusutan luas baku sawah terjadi karena alih fungsi lahan. "Secara garis besar, lahan baku sawah itu terkonversi untuk (infrastruktur) kepentingan umum seperti jalan tol serta industrialisasi," kata Ketua Pusat Data dan Informasi Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (19/11/2018).
Hasil penghitungan luas baku sawah diumumkan bersama dengan hasil koreksi data produksi beras oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, 22 Oktober 2018, setelah melalui sejumlah proses sejak tahun 2015. Badan Pusat Statistik (BPS) menggandeng sejumlah lembaga terkait proyek tersebut, yakni Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian ATR/BPN, Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Selain karena alih fungsi lahan, perubahan luas baku sawah juga disebabkan oleh perbedaan teknologi dan citra satelit yang digunakan untuk mengambil data lahan. Suyus memaparkan, peta awal diperoleh dari citra satelit milik Lapan dengan skala minimal 1:10.000. Dari data itu, BIG menegakkannya, kemudian menetapkan garis lahan.
Selanjutnya, Kementerian ATR/BPN bertanggung jawab memvalidasi data peta lahan baku sawah. "Bisa saja kami mempublikasikan datanya setiap setahun, tetapi kemuktahiran teknologinya perlu ditingkatkan," kata Suyus.
Saat ini Kementerian ATR/BPN tengah memvalidasi dan memverifikasi konversi lahan di tingkat kabupaten secara nasional. Hasil konversi lahan terbaru juga akan diperbarui.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, kebutuhan lahan meningkat seiring pertumbuhan penduduk. "Lahan pangan akan digunakan untuk kebutuhan nonpangan. Oleh karena itu, pemerintah harus kreatif dalam mengelola dan menyeimbangkan pemanfaatan lahan yang ada, baik untuk pangan maupun nonpangan," kata Enny saat dihubungi, Selasa (20/11/2018).
Kreativitas pemerintah dalam mengelola pemanfaatan tanah seharusnya memberi tambahan nilai ekonomi baik untuk pertanian maupun industri. Enny berpendapat, ketersediaan pasokan dan logistik pangan seharusnya dapat ditopang oleh industrialisasi maupun pembangunan infrastruktur.
Lahan berkelanjutan
Saat ini, identifikasi lahan-lahan baku sawah yang produktivitasnya di atas rata-rata menjadi penting. Lahan-lahan tersebut harus diprioritaskan untuk dipertahankan sebagai sawah.
Ke depan, lanjut Enny, pemerintah perlu menyeleksi industri mana yang akan memanfaatkan lahan sawah yang kurang produktif. Dengan demikian, lahan sawah yang berkurang dapat dikompensasi dengan sumber daya ekonomi lain yang memberikan nilai tambah lebih tinggi.
"Kalau pemerintah berhasil mengintegrasikan kebutuhan lahan pangan dengan nonpangan, seharusnya konversi lahan bukan masalah," kata Enny.
Terkait alih lahan, pemerintah daerah (pemda) dinilai menjadi pihak yang paling bertanggung jawab karena memiliki wewenang. "Izin penggunaan lahan dikeluarkan oleh pemda," kata Suyus.
Oleh karena itu, pemda turut bertanggung jawab mendata kebutuhan di daerahnya. Dari kebutuhan itu, pemda bisa memperkirakan kebutuhan luas lahan baku sawah untuk kemudian diintegrasikan secara nasional. Menurut Suyus, kebijakan satu peta (one map policy) dapat mengakomodasi integrasi data tersebut.
Enny juga menyoroti konsistensi dan komitmen pemda pada rencana tata ruang umum wilayah yang turut mencantumkan kebutuhan luas lahan sawah daerah. Pembangunan industri yang membutuhkan lahan seharusnya mangacu pada rencana tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, selama ini penggunaan lahan di daerah mayoritas bergantung pada visi dan janji kampanye kepala daerah. "Menurut pantauan kami, izin lahan di sebagian besar daerah dipegang oleh kepala daerah, bukan dinas terkait," ujarnya.
Senada dengan Suyus, Endi mengatakan, kebijakan satu peta perlu segera direalisasikan. Kebijakan ini dapat memperluas peran pemerintah pusat dalam mengendalikan pemanfaatan lahan di daerah untuk kepentingan nasional, termasuk lahan baku untuk tanaman pangan.
Selain itu, Robert mengharapkan ada pengawasan dan penegakan hukum dalam mengelola lahan. "Status lahan yang diperuntukkan sebagai sawah harus ditunjang dengan kebijakan. Dalam hal ini, pemerintah pusat jangan sampai lepas tangan," ujarnya.
Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Namun, belum semua daerah menetapkan lahan-lahan pertanian yang akan dilindungi dalam peraturan daerah (perda) tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan perda LP2B. Undang-undang juga diterjemahkan beragam oleh pemerintah daerah.