JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan biogas untuk rumah tangga di Indonesia masih lamban dan butuh dukungan banyak pihak untuk pengembangan. Sejak 2015, target yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN belum pernah bisa dicapai. Banyak kendala dalam upaya mengoptimalkan biogas di Indonesia.
Biogas untuk rumah tangga di Indonesia banyak dimanfaatkan sebagai pengganti elpiji, minyak tanah, atau kayu bakar. Dengan memanfaatkan limbah rumah tangga dan kotoran ternak, melalui proses fermentasi atau dekomposisi dalam reaktor sederhana, gas dihasilkan dan dialirkan ke kompor-kompor biogas. Kandungan utama biogas adalah gas metan, karbondioksida, hidrogen, dan nitrogen.
"Perlu diakui memang masih ada selisih lebar antara target pemanfaatan biogas dengan realisasi pencapaian di lapangan. Beberapa kendalanya adalah tidak ada pendanaan khusus biogas dari APBN dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga yang masih kurang," ujar Direktur Bioenergi pada Direktorat Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna, dalam acara lokakarya pengembangan biogas, Senin (19/11/2018), di Jakarta.
Pada 2017, target kapasitas terpasang biogas adalah 49,6 juta meter kubik, sedangkan realisasinya sebesar 24,54 juta meter kubik. Tahun ini ditargetkan sebanyak 69 juta meter kubik dan diperkirakan realisasi sampai akhir tahun hanya 25,26 juta meter kubik. Adapun di 2020, targetnya sebesar 131,9 juta meter kubik, tetapi diperkirakan realisasinya sebesar 26 persen atau 35,28 juta meter kubik.
Data dari Kementerian ESDM menyebutkan, 1 meter kubik biogas setara dengan 0,46 kilogram elpiji, 0,62 liter minyak tanah, dan 3,5 kilogram kayu bakar. Kotoran ternak sapi sebanyak tiga ekor bisa menghasilkan biogas sebanyak 4 meter kubik per hari. Selain kotoran ternak, bahan baku pembuatan biogas bisa dari sampah rumah tangga, seperti limbah sayur dan sejenisnya.
"Dana alokasi khusus untuk pengembangan biogas tidak tercantum dalam APBN 2019. Sedang kami pikirkan sumber pendanaan lain untuk pengembangan biogas tersebut," kata Feby.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Energi Lina M Moeis, menambahkan, sejauh ini program biogas rumah yang bekerja sama dengan Hivos, lembaga nirlaba internasional yang salah satunya bergerak di bidang energi terbarukan, telah menyasar 1.756 desa yang ada di 10 provinsi di Indonesia. Adapun reaktor biogas yang terbangun mencapai 23.077 unit. Saat ini ada permintaan potensial pengembangan biogas oleh 1,1 juta rumah tangga.
"Selain menghemat pemanfaatan elpiji atau minyak tanah, pemanfaatan biogas ikut mendorong pengurangan gas rumah kaca sebanyak 59.800 ton karbondioksida per tahunnya," ujar Lina.
Program Manager Green Energy pada Hivos Southeast Asia Laily Himayati mengatakan, saat ini sedang diupayakan agar program pengembangan biogas dimasukkan dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Apabila masuk dalam RPJMN 2020-2024, akan ada usaha mempercepat realisasi pencapaian pengembangan biogas yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
"Program rumah biogas cocok dikembangkan di wilayah terpencil dalam hal percepatan penyediaan energi. Selain itu, karena sifatnya yang bisa menggantikan peran elpiji atau minyak tanah, tentu program ini sejalan dengan upaya pengurangan impor energi fosil," ucap Laily.
Ongkos pembangunan reaktor biogas yang dikembangkan Yayasan Rumah Energi bersama Hivos secara rata-rata sekitar Rp 11 juta per unit. Kapasitas reaktor biogas yang dikembangkan mulai dari 2 meter kubik hingga 12 meter kubik. Selain menggantikan fungsi elpiji dan minyak tanah, energi dari biogas juga dapat menyalakan lampu.