JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini, skema tarif Tol Trans-Jawa mulai Merak, Banten, sampai Surabaya, Jawa Timur, masih berdasarkan aturan tarif masing-masing ruas. Dengan demikian, semakin jauh jarak ditempuh, semakin besar tarif yang mesti dibayar oleh pengguna.
Tol Trans-Jawa direncanakan beroperasi seluruhnya akhir tahun ini. Lima ruas tol yang akan dibuka dalam waktu dekat adalah Sragen-Ngawi, lalu empat ruas tol lain dibuka dan dioperasikan Desember 2018, yakni Pemalang-Batang, Batang-Semarang, Salatiga-Kartasura, dan Wilangan-Kertosono. Hal itu berarti 870 kilometer (km) jalan tol beroperasi seutuhnya.
Meski dibuka dan dioperasikan Desember 2018, penerapan tarif direncanakan baru diterapkan mulai Januari 2019. Selain mempertimbangkan waktu sosialisasi, tarif yang dikenakan adalah tarif baru berdasarkan kebijakan rasionalisasi tarif.
”Dasar penetapan tarif ruas-ruas tol baru adalah Rp 1.000 per km karena sudah dirasionalisasi tarifnya. Perhitungannya, golongan I yakni 1 kali tarif dasar per km, kemudian golongan berikutnya 1,5 kali, dan 2 kali,” kata Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna di Jakarta, Selasa (20/11/2018).
Perhitungan berdasarkan tarif yang dirasionalisasi itu hanya dilakukan untuk tol yang sebelumnya bertarif di atas Rp 1.000 per km atau ruas tol yang beroperasi setelah 2015. Jadi, tidak semua ruas tol terkena kebijakan rasionalisasi tarif.
Menurut Herry, tarif dasar Rp 1.000 per km untuk kendaraan golongan I akan diberlakukan di tol baru, antara lain Pejagan-Pemalang (57 km), Pemalang-Batang (39 km), Batang-Semarang (75 km), dan Solo-Ngawi (90 km). Sementara ruas tol lama yang telah ada tarifnya tidak mengalami perubahan. Dengan demikian, jarak 870 km antara Merak-Surabaya bukan berarti tarifnya Rp 870.000.
Namun, tarif berdasarkan jarak tersebut akan dievaluasi karena semakin jauh jarak tempuh, biaya yang dikeluarkan makin besar. Padahal, tol dibangun agar transportasi, terutama angkutan logistik, dapat semakin efisien. Selain menerapkan tol yang terintegrasi, BPJT tengah mengkaji kemungkinan skema penarifan dengan batas jarak tempuh maksimal.
Sederhananya, di atas jarak maksimal yang ditempuh pengguna kendaraan di jalan tol, semisal 500 km, tarif yang mesti dibayar tidak bertambah lagi atau tetap. Mekanisme tersebut menggabungkan sistem tol terbuka ataupun tertutup sekaligus memperhitungkan volume lalu lintas harian rata-rata di setiap ruas jalan tol yang berbeda-beda.
Terkait rasionalisasi tarif, pemerintah akan menyiapkan kompensasi berupa dana tunai. Namun, besaran kompensasi belum diputuskan. ”Karena perjanjian berubah, pemerintah bertanggung jawab. Ini memberikan kepastian pengembalian investasi kepada BUJT sekaligus mendorong utilisasi tol,” ujar Herry.
Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero) Bintang Perbowo mengatakan, Jalan Tol Trans-Sumatera di ruas Bakauheni-Palembang ditargetkan selesai dan beroperasi pada April 2019. ”Presiden memutuskan untuk berbayar setelah nanti seluruh tol tersambung dari Bakauheni sampai Palembang,” kata Bintang.
Menurut Bintang, perhitungan dasar tarif tol di Trans-Sumatera di bawah Rp 1.000 per km. Ruas tol yang saat ini sudah beroperasi adalah Palembang-Indralaya dan Medan-Binjai. Meski belum sepenuhnya selesai beroperasi, ruas Jalan Tol Medan-Binjai telah dilewati sekitar 15.000 kendaraan per hari.
Saat ini, Hutama Karya tengah menyiapkan obligasi atau surat utang jangka menengah (medium term note) untuk membiayai pembangunan ruas-ruas tol di Sumatera. Surat utang jangka panjang disesuaikan dengan jangka pengembalian investasi jalan tol yang berada di tahun ke-11 atau tahun ke-12 setelah tol beroperasi. Secara khusus, penerbitan obligasi berdasarkan aset jalan tol akses Tanjung Priok direncanakan baru akan diterbitkan pada 2019.