JAKARTA, KOMPAS — Kualitas pengembangan persoalan tenaga kerja secara nasional belum maksimal. Hal ini terlihat dari Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan pada 2018 sebesar 60,81. Kendati naik dari 2017 yang sebesar 56,07, nilai itu masih termasuk dalam menengah bawah.
Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan setiap tahun sejak 2011. Pengukurannya menggunakan metode kuesioner.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dikutip Selasa (20/11/2018), ada 131,01 juta angkatan kerja di Indonesia per Agustus 2018. Adapun penduduk bekerja sebanyak 124,01 juta orang. Dari jumlah penduduk bekerja itu, sekitar 40,69 persen berpendidikan sekolah dasar.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Khairul Anwar, peningkatan skor Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) 2018 nasional didukung kenaikan pada perencanaan tenaga kerja, kesempatan kerja, produktivitas, pengupahan dan kesejahteraan pekerja, serta jaminan sosial.
Pemerintah fokus membangun berbagai proyek infrastruktur yang menciptakan banyak kesempatan kerja, yang diikuti pemerintah daerah. Pada saat bersamaan, teknologi digital berkembang masif yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja baru. Hal ini terlihat dari nilai indikator kesempatan kerja yang naik dari 8,56 pada 2017 menjadi 11,23 pada 2018.
Khairul menyoroti indikator hubungan industrial yang nilainya turun dari 3,16 pada 2017 menjadi 3,00 pada 2018. ”Tren digital melahirkan banyak kesempatan kerja, tetapi kebanyakan bersifat informal dan belum berbadan hukum resmi. Kesejahteraan pekerja yang diukur dari nilai upah memang turut naik,” katanya.
Namun, kehadiran teknologi digital memunculkan bentuk hubungan industrial baru, seperti kemitraan, yang belum terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perubahan profesi
Laporan McKinsey Global Institute Skill Shift: Automation and The Future of The Workforce, Maret 2018, menyebutkan, otomatisasi mempercepat pergeseran keterampilan tenaga kerja dalam 15 tahun terakhir. Permintaan tenaga terampil di bidang teknologi diperkirakan naik hingga 55 persen.
Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan, teknologi digital yang bergerak cepat menuntut perubahan keahlian. Kemahiran yang saat ini dimiliki tenaga kerja kemungkinan tidak dibutuhkan lagi di masa mendatang. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pemerintah melatih tenaga kerja berlatar belakang pendidikan rendah agar menjadi mahir, meningkatkan kepakaran pekerja, dan memberi pelatihan yang diisi materi ilmu baru sesuai kebutuhan industri.
Langkah itu diwujudkan melalui Balai Latihan Kerja (BLK), yang diinstruksikan untuk direvitalisasi. ”Saya titip pesan kepada kepala daerah agar lebih peduli terhadap pengembangan kompetensi tenaga kerja, seperti alokasi anggaran khusus pelatihan. Jangan sampai hanya mengandalkan kucuran dana dari pusat. Jangan pula jika tidak ada pendistribusian anggaran dari pusat, lantas tak mau mengadakan pelatihan kerja,” kata Hanif.
Saat ini ada 303 BLK di Indonesia yang terdiri dari 19 unit milik kementerian dan 284 unit dikelola pemda.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali berpendapat, Kementerian Ketenagakerjaan berperan penting dalam membangun ketenagakerjaan. Menurut dia, tenaga kerja yang sudah ada perlu dilatih kompetensi baru.