Untung Ada Kredit Jamban
Sudah dua tahun terakhir Saroh (48) memiliki jamban dan sanitasi di rumahnya. Warga Pisangan Pangsor, Desa Sangiang, Kabupaten Tangerang ini tak perlu lagi ke kebun atau kali untuk buang air besar. Jamban juga menyelamatkannya dari kekhawatiran hanyut di sungai saat sedang asyik BAB.
"Lebih enak punya kakus, kamar mandi, dan air bersih. Enggak perlu lagi ke sungai, kebun, dan sawah lagi. Enggak perlu takut lagi hanyut terbawa air,” kata Saroh, Kamis (15/11/2018).
Awalnya, Saroh seperti tetangganya, buang hajat di kebun atau sawah yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya. Kesempatan lain, ia buang hajat di saluran irigasi yang hanya berjarak 20 meter dari rumahnya.
Kebiasaan itu melahirkan istilah lokal untuk buang hajat yaitu medol. Warga setempat suka menyambungnya dengan lokasi pembuangan ekskresinya. Muncullah dolbon dan doli, alias medon di kebon dan medol di kali.
“Dulu, anak saya paling gede, saat berusia tiga tahun, pernah hanyut saat buang air di kali. Saya takut kalau cucu saya mengalami hal sama dengan mamanya, anak saya itu. Makanya, begitu ada ajakan ikutan koperasi dan kredit jamban, saya coba mengambilnya. Alhamdullilah, ternyata lebih enak sekarang,” kata Saroh yang anggota Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI).
Anggota BMI lainnya adalah Hayati (52), Desa Sindang Sono, Kecamatan Sindang Jaya, Kabupaten Tangerang. Tujuh tahun lalu, ia merenovasi rumah namun absen membangun WC.
Keputusan membangun kakus dan kamar mandi berukuran 2x1,5 meter persegi dua tahun lalu, muncul karena ia malu pada cucu, menantu, dan besan.
“Cucu dan mantu saya yang tinggal di Jakarta enggak mau lagi ke sini, apalagi bermalam. Mereka enggak mau dan tidak terbiasa pipis dan BAB (buang air besar) di kebun, empang, apalagi ke sungai. Mereka enggak mau lagi ke sini setiap kali lebaran. Jadi terpaksa ambil kredit di koperasi (Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia),” cerita Hayati, nenek 12 cucu itu.
Kepala Koperasi Syariah BMI Cabang Sepatan, Kartubi, mengatakan, koperasi menyediakan dana untuk kredit mikro tata kelola sanitasi dan kredit mikro air bersih skala rumah tangga lantaran masih banyak warga belum memiliki jamban.
Koperasi ini hadir untuk memastikan masyarakat berpenghasilan rendah juga berkesempatan memiliki jamban dan septic tank yang layak.
Kartubi menjelaskan, program kredit sanitasi antara lain pengadaan paket MCK, yakni WC, septic tank, dan air bersih (sumur pompa). Waktu dan besaran cicilan menyesuaikan kemampuan warga, minimal Rp 10.000 per minggu.
“Kalau dulu proses dari mendaftar menjadi anggota sampai bisa dapat kredit ini butuh waktu setahun. Sekarang, begitu jadi anggota, bisa langsung mengajukan kredit sanitasi ini,” jelas Kartubi.
Saat ini, kata Kartubi, sudah 6.000 anggota Koperasi Syariah BMI, termasuk 300 anggota di Sepatan. Sementara target awal jumlah anggota secara keseluruhan sebanyak 5.222 anggota.
Masih rendah
Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang mencatat, hingga Oktober 2018, sekitar 27,2 persen dari 3,4 juta warga di kabupaten masih BAB sembarangan (BABS), di kebun dan kali.
Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, dan Olahraga Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang mencatat, capaian Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) smart tahun 2017 di Kabupaten Tangerang baru 72,54 persen. Persentase itu lebih rendah dibanding Kota Tangerang Selatan (99,20 persen) dan Kota Tangerang (98,87 persen).
Masih tertinggalnya capaian STBM Kabupaten Tangerang dibandingkan dua wilayah lain di Tangerang Raya karena sebagian besar wilayahnya adalah pedesaan, sementara capaian tiap desa tidak merata. Ada capaian yang sudah di atas 90 persen, juga masih ada yang di bawah 50 persen.
Merujuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Tangerang 2013-2018, capaian STBM Kabupaten Tangerang itu belum tercapai.
Hal ini menjadi tantangan pembangunan sanitasi di Kabupaten Tangerang, terutama mengubah perilaku BABS.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang Desriana mengatakan, pada 2012 tercatat 66,6 persen warga yang tidak lagi BABS dan pada 2017 sudah 72,18 persen. Oktober 2018, warga yang sadar bersanitasi menjadi 72,8 persen.
Hingga kini wilayah yang masih rendah STBM secara baik, sebanyak 50 persen di Jambe, Jayanti, Kronjo, Rajeg, dan Pakuhaji.
"Kami masih melakukan pembinaan terus menerus kepada masyarakat. Mengubah perilaku warga memang membutuhkan waktu. Kami masih melakukan pembinaan secara terus menerus kepada masyarakat,” kata Desriana.
Pengamat kesejahteraan sosial dari Universitas Indonesia dan Universitas Pelita Harapan Profesor Doktor Paulus Tangdilinting mengatakan, kebiasaan warga BAB di kebun dan kali sudah turun temurun.
“Jadi itu (dolbon dan doli) sudah menjadi kebiasaan dari cara hidup masyarakatnya. Selanjutnya, kebiasaan itu berkembang menjadi budaya, berarti terkait dengan kebiasaan lain. Mereka tidak punya malu membuang hajat di kebun dan kali,” kata Tangdilinting di Depok, Jumat (17/11/2018).
Kondisi ini terjadi, kata Tangdilinting, dikarenakan kondisi dijalani turun-temurun dan mereka sama sekali tidak membayangkan untuk membuat kakus.
Untuk mengubah sikap, perilaku, dan kebiasaan warga, menurut Tangdilinting, perlu waktu yang lama, tidak cukup 1-2 tahun. Pemerintah dan lembaga lain yang akan mengubah kebiasaan warga ini harus sabar.
“Memang ada prakondisi yang harus dipenuhi untuk mengubah kebiasaan yang sudah membudaya ini. Prakondisi ini harus ada dan yang akan mengubahnya. Selain pemerintah, masyarakat membutuhkan lembaga yang peduli dengan kebutuhan kehidupan masyarakat, seperti koperasi,” katanya.
Sebelum dimulai, lanjut Tangdilinting, sebaiknya pemerintah dan lembaga yang membantu pengentasan sanitasi harus lebih dulu membangkitkan kesadaran bahwa hidup sehat dan bersih itu penting. Kalau kesadaran itu belum tumbuh, otomatis masyarakat belum bisa mengubah kebiasaan tersebut.
“Ini kan akan mengubah kebiasaan orang yang sudah turun- temurun. Bagaimana akan mengubah kebiasaan tersebut kalau mereka tidak merasakan atau melihat bahwa selama ini kehidupan yang mereka jalani itu tidak benar. Juga bagaimana mereka mengetahui dan menyadari adanya bahaya kesehatan, sehingga mereka secara perlahan dapat berubah,” jelas Tangdilinting.
Sebelum dimulai, lanjut Tangdilinting, sebaiknya pemerintah dan lembaga yang membantu pengentasan sanitasi tersebut harus lebih dulu membangkitkan kesadaran bahwa pentingnya kehadiran hidup sehat dan bersih dengan menghadirkan sanitasi sebagai kebutuhan warga.
Proses penyadaran hidup sehat dan bersih ini harus dilakukan secara terus menerus sehingga muncul kesadaran masyarakat. Misalnya, dengan melakukan penyuluhan yang secara berkesinambungan tentang dampak kesehatan jika hidup tidak sehat dan tidak bersih.
Selain memberikan penyuluhan, lanjut Tangdilining, kebiasaan warga bisa berubah jika ada contoh warga yang sudah memulai hidup sehat dan bersih dan panutan. “Biasanya, jika sudah ada lima persen dari warga yang sudah berubah hidup sehat dan bersih, warga lainnya secara bertahap akan mengikuti langkah yang sudah diambil dari tetangganya,” paparnya.
Juga, dalam menghadirkan kakus harus disertai dengan fasilitas lain, seperti ketersediaan air bersih yang memadai dan terus menerus. Kehadiran koperasi yang membantu kredit jamban sangat dibutuhkan untuk memperpanjang tangan pemerintah dalam mengentaskan masalah buruknya hidup sehat dan sanitasi kebiasaan warga yang terjadi selama ini.
Tak kalah penting, nafas untuk membenahi sanitasi kita memang harus panjang.