JAKARTA, KOMPAS – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masih memproses penyitaan aset milik Yayasan Supersemar. Sesuai putusan Mahkamah Agung yang dikeluarkan pada 8 Juli 2015, Yayasan Supersemar diwajibkan membayar Rp 4,5 triliun kepada negara.
Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Achmad Guntur, mengatakan, hasil putusan itu menyebutkan Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi kepada negara dalam bentuk dollar dan rupiah, yakni 315 juta dollar AS atau setara Rp 4,5 triliun (dengan konversi Rp 14.600/dollar AS) dan Rp 139 miliar.
Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara menggugat Presiden kedua RI Soeharto dan Yayasan Supersemar pada 2007 secara perdata. Yayasan Supersemar diduga menyelewengkan dana beasiswa pendidikan.
Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada beberapa perusahaan, di antaranya PT Bank Duta 420 juta dollar AS, PT Sempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar. Negara mengajukan ganti rugi materiil 420 juta dollar AS dan Rp 185 miliar serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun. (Kompas, 11/8/2015)
“Di dalam putusan hanya Yayasan Supersemar yang diberikan hukuman,” kata Guntur saat ditemui Rabu (21/11/2018) siang.
Ia mengatakan, saat ini PN Jaksel sudah menyita uang sejumlah Rp 242 miliar dari 113 rekening atas nama Yayasan Supersemar. Uang itu akan diserahkan kepada negara. Selain itu, pengadilan juga sudah menyita Gedung Granadi di Kuningan Jakarta Selatan dan tanah seluas 8.120 meter persegi di Bogor.
Karena hukuman untuk Yayasan Supersemar adalah membayar sejumlah uang, maka Gedung Granadi dan Tanah perlu dilelang. Sejak penetapan sita eksekusi pada 13 Oktober 2016, Guntur mengatakan, tim penilai independen belum memberi laporan terkait Gedung Granadi.
Sementara itu, PN Jaksel juga belum menerima laporan hasil tim penilai tanah sitaan di Bogor dari Pengadilan Negeri Cibinong. Selain uang dan aset tersebut, pengadilan saat ini masih mencari enam unit kendaraan milik Yayasan Supersemar.
"Mobil itu belum diketahui di mana," kata Guntur.
Gedung Granadi
Menurut pantauan Kompas pada Rabu siang, Gedung Granadi masih digunakan. Beberapa mobil terlihat keluar dan masuk ke halaman gedung itu. Terlihat juga dua orang keamanan yang berjaga di gerbang. Seorang perempuan mengenakan blouse hitam terlihat masuk ke gedung itu.
Guntur mengatakan, sita eksekusi adalah pencatatan aset agar tidak dialihkan oleh pemilik. Hal itu bertujuan untuk memenuhi keputusan pengadilan sebagai pengganti sejumlah uang yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar.
“Sita eksekusi itu hanya dicatat saja supaya tidak dialihkan. Makanya gedung itu akan dilelang. Kalau masih dipakai, tidak apa-apa,” kata Guntur.
Sempat beredar kabar bahwa Gedung Granadi merupakan kantor DPP Partai Berkarya. Hal itu ditepis oleh Ketua DPP Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang. Ia mengatakan, kantor DPP Partai Berkarya ada di Jalan Antasari no 20 Cilandak Jakarta Selatan.
Ia juga mengatakan Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto tidak tersangkut dengan sengketa Yayasan Supersemar. Ia mengatakan, posisi Tommy adalah sebagai Presiden Komisaris Humpuss Group yang berkantor di Granadi.
“Statusnya penyewa, sama dengan penyewa lainnya. Yayasan Supersemar juga penyewa dan pemilik saham minoritas di pengelolaan Gedung Granadi,” ujar Badaruddin saat dihubungi Kompas. (SUCIPTO)