JAKARTA, KOMPAS - Perbankan akan memberi keringanan kredit ke nasabah penyintas bencana alam di Lombok, NTB, dan Palu, Sulawesi Tengah. Tidak ada skema penghapusan yang dibahas.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Rohan Hafas di Jakarta, Rabu (21/11/2018), mengatakan, pihaknya akan memberi keringanan atas kewajiban atau restrukturisasi utang korban bencana.
"Kami terus mendata dan mengkaji debitur terdampak bencana. Keringanan kami berikan karena arus kas nasabah pasti terganggu. Kebijakan itu tentunya tetap memerhatikan prinsip tata kelola yang baik dan menyesuaikan ketentuan regulator," kata Rohan.
Direktur Manajemen Risiko PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Mohammad Irfan mengatakan, BRI akan memberi keringanan pada debitur di Lombok dan Palu mempertimbangkan kasus per kasus kredit. Selama Januari-November 2018, BRI menyalurkan kredit sekitar Rp 5 triliun pada nasabah di Palu dan Rp 1 triliun di Lombok.
Data OJK, jumlah kredit yang disalurkan ke wilayah terdampak gempa dan tsunami di Sulteng mencapai Rp 16,2 triliun per September 2018.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perbankan memberi keringanan kredit ke nasabah penyintas bencana. Itu mengacu Peraturan OJK Nomor 45/POJK.03/2017 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan Bank Bagi Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam.
Dalam regulasi itu, OJK memberikan kebijakan kepada bank untuk tidak menagih dulu debitur terdampak bencana. Bisa juga restrukturisasi kredit, penjadwalan ulang, atau penyesuaian biaya administrasi.
Data OJK, jumlah kredit yang disalurkan ke wilayah terdampak gempa dan tsunami di Sulteng mencapai Rp 16,2 triliun per September 2018. Itu setara 0,3 persen total kredit perbankan.
Di Lombok terdapat 39.341 debitur perbankan terdampak gempa dengan nilai kredit Rp 1,52 triliun pada 15 bank umum dan 17 bank perkreditan rakyat.
Kondisi di Palu
Di Palu, Rabu kemarin, lebih dari 1.000 warga mendatangi DPRD Sulteng untuk mendesak pemutihan hutang kredit perbankan dan perusahaan pembiayaan. Gerakan yang diinisiasi sejumlah warga itu mengumpulkan sekitar 12.000 formulir.
Formulir itu inisiatif Forum Debitur Korban Bencana Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala (Pasigala). Forum dibentuk dua pekan lalu. Ando Wibisono, Ketua Forum Debitur Korban Bencana Pasigala mengklaim telah terkumpul 12.000-an formulir.
Kemarin, DPRD juga menggelar rapat yang dipimpin Wakil Ketua II Alimuddin Paada. Disepakati pembentukan panitia kerja yang memperjuangkan suara masyarakat. Salah satu agendanya menemui menteri keuangan dan Presiden Joko Widodo.
Sejumlah warga mengungkapkan, pemutihan kredit harus dilakukan. Penangguhan atau penundaan beberapa bulan hingga dua tahun hanya menunda. Beban kian berat karena sebagian warga kehilangan pekerjaan.
Rita (40), warga Taipa, Palu Utara, mengatakan, cicilan motornya Rp 725.000 per bulan. Ia masih harus mengangsur 13 kali lagi. Dua bulan, ia dan suaminya menganggur.
“Suami saya kerja di toko bangunan yang bangunannya pun ambruk. Kami berdua menganggur. Pihak leasing sudah menelepon, tetapi saya bilang enggak ada uang. Bagaimana bisa membayar? Anak-anak saya lalu bagaimana? Rumah saya pun rusak,” kata Rita.
Rian Sukal (32), warga Jalan Tondo, Palu, juga bingung cara menutup kredit usaha yang cicilan perbulannya Rp 1,6 juta. Dia baru enam kali mengangsur dari jangka pinjaman 36 bulan.
“Kredit ini untuk renovasi usaha kos saya, usaha satu-satunya. Semua rencana berantakan. Bangunan kos sudah rata dengan tanah, juga rumah saya. Pihak bank memberi penangguhan setahun. Tapi setelah itu? Masa saya nyicil bangunan yang tiada?” kata Rian.
Ana Sulsiana (32), warga Jalan RE Martadinata, Palu, sama bingungnya. Cicilan rumahnya Rp 1,6 juta per bulan. Cicilannya masih kurang setahun. Ana bingung membayarnya karena suaminya yang bekerja sebagai tenaga honorer, kini “diistirahatkan” karena kantornya ambruk.
Ana sebenarnya mempunyai usaha membuka kantin di salah satu SMA di Palu. Namun, ternyata jualannya masih sepi. “Sepertinya daya beli masyarakat ikut-ikutan turun. Banyak masyarakat kehilangan pekerjaan, sehingga berhemat,” kata Ana, ibu tiga anak ini.