JEMBER, KOMPAS - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menuntaskan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Devisa Hasil Ekspor dari kegiatan pengusahaan dan pengelolan sumber daya alam. Peraturan devisa hasil ekspor yang baru ini akan berlaku 1 Januari 2019. Dalam aturan baru soal devisa ini, eksportir diwajibkan menyimpan devisa di dalam negeri. Dalam aturan sebelumnya, eskportir hanya diwajibkan melaporkan saja.
Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, pembahasan RPP tentang devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan dan pengelolaan sumber daya alam sudah diselesaikan pada Rabu (21/11/2018) malam. Penyelesaian pembahasan ini termasuk harmonisasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Tahap selanjutnya penandatangan oleh menteri dan Presiden.
“Sebetulnya, tidak ada yang baru dalam aturan devisa hasil ekspor ini. Kami hanya mewajibkan eksportir menyimpan devisa di dalam negeri yang sebelumnya hanya melaporkan saja,” kata Susiwijono di Jember, Kamis (22/11/2018).
Kewajiban menyimpan devisa hasil ekspor di dalam negeri sudah diterapkan sejumlah negara. Di Indonesia, peraturan ini baru diterapkan karena sebelumnya eksportir hanya diwajibkan untuk melapor devisanya. Namun, pelaporan tidak dibarengi pencatatan transaksi sehingga devisa yang disimpan dalam negeri bisa cepat ditarik kembali oleh eksportir.
Dalam RPP baru, pemerintah mewajibkan devisa hasil ekspor ditempatkan di dalam negeri. Ada empat sektor usaha yang menjadi sasaran, yaitu pertambangan, perkembunan, kehutanan, dan perikanan.
Devisa hasil ekspor dari sumber daya alam ini harus dilaporkan dalam sistem keuangan Indonesia dan ditempatkan dalam rekening khusus pada bank devisa dalam negeri. Rekening khusus itu pada bank umum dan kantor cabang bank asing di Indonesia yang mendapat izin melakukan kegiatan perbankan dalam valuta asing.
“Kendati ditempatkan di dalam negeri, pemerintah menjamin eksportir bisa menggunakan devisa itu untuk kegiatan perusahaan dengan dilengkapi dokumen-dokumen yang jelas,” ujar Susiwijono.
Kegiatan perusahaan yang dimaksud mencakup penggunaan devisa untuk pinjaman luar negeri, impor bahan baku, keuntungan, dan keperluan lain terkait penanaman modal. Eksportir juga tidak wajib mengonversi dari dollar AS ke rupiah. Namun, pemerintah akan memberikan insentif berupa pajak penghasilan (PPh) final atas bunga deposito.
PPh atas bunga deposito dalam dollar AS berkisar 0-10 persen, tergantung jangka waktu penempatan devisanya. Adapun devisa ekspor dalam deposito rupiah dikenai tarif 0-7,5 persen. Semakin lama devisa ekspor bertahan di dalam negeri, PPh akan semakin kecil.
Denda
Eksportir komoditi sumber daya alam yang tidak memasukkan devisa ekspor ke dalam negeri, tidak memindahkan escrow account di luar negeri ke bank devisa dalam negeri, dan menggunakan devisa tidak sesuai ketentuan akan dikenakan saksi administratif. Sanksi berupa tidak dapat melakukan kegiatan ekspor, denda, dan atau pencabutan izin usaha.
Di tengah gejolak ekonomi global, Indonesia membutuhkan tambahan cadangan devisa untuk membiayai utang dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Berdasarkan data Bank Indonesia, devisa hasil ekspor pada Januari-Juni 2018 sebesar 69,88 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, yang masuk ke dalam negeri sekitar 92,6 persen atau 64,74 miliar dollar AS. Namun, hanya 13,3 persen yang dikonversikan ke rupiah.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir menekankan, kewajiban dan denda yang ditetapkan pemerintah tidak melanggar peraturan Dana Moneter Internasional (IMF). Kebijakan ini bukan bentuk pembatasan devisa karena eksportir mendapatkan insentif dan bebas menggunakan devisanya.
Penerbitan RPP devisa hasil ekspor akan dibarengi peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia yang baru.