JAKARTA, KOMPAS - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mencabut hak politik mantan anggota Komisi I DPR, Fayakhun Andriadi, selama 5 tahun melalui putusan perkara suap di Badan Keamanan Laut yang dibacakan Rabu (21/11/2018). Selain itu, ia juga dipidana penjara 8 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan.
”Menimbang bahwa kedudukan terdakwa sebagai legislator seharusnya menjadi suri teladan bagi rakyat dan konstituennya. Akan tetapi, perbuatannya menerima suap telah mencederai amanat yang diberikan rakyat melalui suara yang diberikan pada wakilnya di lembaga legislatif. Karena itu, patut dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik,” kata hakim anggota Anshori Syaifuddin.
Fayakhun dihukum karena dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap secara terus-menerus atas proyek pengadaan barang dan jasa di Bakamla. Vonis ini lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa, yakni pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Sesuai dengan dakwaan, Fayakhun disebut terbukti menerima 911.480 dollar Amerika Serikat dalam beberapa tahap melalui sejumlah rekening luar negeri. Uang tersebut diterimanya sebagai imbalan membantu proyek pengadaan satelit monitoring di Bakamla yang nilainya mencapai Rp 222,4 miliar.
Dari penerimaan yang nilainya setara dengan Rp 12 miliar tersebut, Fayakhun telah mengembalikan Rp 2 miliar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengembalian uang tersebut dipertimbangkan hakim sebagai hal yang meringankan. Sisanya telah digunakan untuk keperluan pemenangan dirinya menjadi Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta dan sebagian ada yang mengalir untuk Musyawarah Nasional Partai Golkar di Bali pada 2016.
Sementara itu, permohonan justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kejahatannya yang diajukannya tidak dikabulkan hakim.
”Sesuai SEMA Nomor 4 Tahun 2011, syaratnya harus mengakui kejahatan, bukan pelaku utama, dan yang bersangkutan memberikan keterangan yang signifikan. Dari syarat ini, terdakwa tidak dapat diklasifikasikan sebagai JC (justice collaborator) karena bukan pelaku utama dan majelis tidak menemukan penuntut umum mengabulkan JC, baik di surat tuntutan maupun surat-surat lain, sehingga dengan dasar itu permohonan JC tidak dapat dikabulkan,” tutur Anshori.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Franky Tumbuwun, Fayakhun dan jaksa penuntut umum yang diwakili M Takdir Suhan menyatakan pikir-pikir atas vonis yang dijatuhkan tersebut.