JAKARTA, KOMPAS – Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris dan berkomitmen menjaga kenaikan suhu kurang dari 2 derajat celcius. Bahkan, pemerintah menargetkan penurunan emisi karbon pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan luar negeri. Secara global, ambisi ini dinilai sangat baik. Namun, implementasinya, Indonesia justru terlihat tidak konsisten terhadap target tersebut.
Hal tersebut nampak dari dokumentasi kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca (NDC) yang masih jauh dari target Kesepakatan Paris. Berdasarkan data Climate Action Tracker (CAT) 2018, NDC nasional saat ini meningkat menuju kenaikan suhu antara 3-4 derajat celsius. Selain itu, jika dilihat berdasarkan kebijakan yang diterapkan saat ini, emisi gas rumah kaca Indonesia diperkirakan akan meningkat hingga 1.751 metrik ton setara karbon dioksida (MtCO2e)pada 2030. Pada 2015 tercatat sebesar 937 MtCO2e.
“Indonesia punya ambisi yang besar pada target untuk mencapai Kesepakatan Paris. Tetapi kalau dilihat dari kebijakan dan instrumen turunannya belum menunjukkan ambisi yang sama. Hal itu yang menyebabkan target yang dibuat sulit dicapai,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam acara peluncuran Laporan Brown to Green: Transisi G20 Menuju Ekonomi Rendah Karbon 2018 di Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Indonesia punya ambisi yang besar pada target untuk mencapai Kesepakatan Paris. Tetapi kalau dilihat dari kebijakan dan instrumen turunannya belum menunjukkan ambisi yang sama.
Laporan Brown to Green (B2G) 2018 merupakan laporan tahunan keempat yang dikeluarkan oleh Climate Transparency. Laporan ini diluncurkan secara global di Berlin pada 14 November 2018 dan kemudian diluncurkan secara simultan di sejumlah negara anggota G20, seperti Indonesia, India, Afrika Selatan, dan Argentina. Dalam laporan ini disajikan data mengenai perkembangan emisi sepanjang 2017 dengan 80 indikator terkait dekarbonisasi kebijakan iklim, pendanaan, dan kerentanan terhadap perubahan iklim.
Dalam Laporan B2G 2018, kebijakan iklim yang berlaku di Indonesia terkait capaian Kesepakatan Paris masih rendah. Di sektor pembangkit listrik, baik terkait energi terbarukan di sektor pembangkit listrik dan penghapusan batubara, Indonesia pada level rendah. Pemerintah sama sekali belum punya rencana untuk keluar dari ketergantungan pada batubara. Dari sektor transportasi dengan indikator penghapusan kendaraan berbahan bakar fosil dengan daya ringan juga masih pada level rendah.
Kebijakan iklim di Indonesia terkait capaian Kesepakatan Paris masih rendah. Di sektor pembangkit listrik, baik terkait energi terbarukan di sektor pembangkit listrik dan penghapusan batubara, Indonesia pada level rendah.
Sementara, dari sektor lain, seperti bangunan dengan indikator bangunan baru hampir nol energi, sektor industri (instalasi industri baru rendah karbon), dan sektor hutan (kebijakan nol deforestasi), Indonesia berada pada level menengah. Artinya, sudah ada sejumlah tindakan berupa program atau pun regulasi namun belum ada aksi jangka panjang.
Menurut Fabby, komitmen Indonesia untuk mencapai target Kesepakatan Paris harus merujuk pada empat aspek, yakni kepemimpinan, konsistensi target, regulasi, dan pembiayaan. Apabila keempat aspek ini tidak berjalan optimal, Indonesia tetap tertinggal dari capaian global.
Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Rachmat Witoelar menuturkan, upaya menurunkan emisi gas rumah kaca merupakan keniscayaan. Perubahan iklim dan berbagai permasalahan tidak lagi menunggu sehingga pengendalian dan penanganan menjadi kewajiban yang mendesak.
Untuk itu, lanjutnya, strategi dan perencanaan saja tidak cukup, melainkan perlu optimalisasi upaya dari seluruh siklus pengendalian dan penanganan perubahan iklim. Siklus itu mulai dari strategi, perencanaan, implementasi aksi, pemantauan, dan evaluasi. Tata kelola yang baik dinilai menjadi kunci dari keberhasilan capaian.
“Tata kelola yang baik ini juga perlu keterlibatan aktif dari semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, akademisi, masyarakat sipil, dan pihak kepentingan lain, baik di tinggal lokal maupun global,” kata Witoelar.
Pembiayaan
Fabby mengatakan, komitmen Indonesia melalui kebijakan dan regulasi keuangan juga dinilai lamban. Dalam Laporan B2G 2018 disebutkan tidak adanya bukti keterlibatan formal dengan prakarsa yang sesuai dengan Satuan Tugas Pengungkapan Keuangan Terkait Iklim (TCFD) di Indonesia. Selain itu, subsidi bahan bakar fosil masih dilakukan. Indonesia juga tidak memiliki skema pajak karbon nasional, perdagangan emisi nasional, atau pun rencana penggunaan skema serupa di masa depan.
Komitmen Indonesia melalui kebijakan dan regulasi keuangan juga dinilai lamban.
“Belum ada skema harga karbon secara jelas hingga saat ini,” ucapnya.
Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Dida Gardera menyatakan, pemerintah terus menggodok regulasi terkait penerapan pajak karbon di Indonesia. “Targetnya selesai pada 2020. Jadi bisa diimplementasikan pada 2021. Harmonisasi regulasi terkait perubahan iklim juga ditargetkan selesai pada 2020,” ujarnya.